Dukungan bea keluar CPO mendorong pertumbuhan produksi oleokimia selama dua tahun terakhir. Dapat membantu daya saing harga oleokimia nasional di pasar internasional.
Jumlah pertumbuhan investor di sektor oleokimia diperkirakan akan terus meningkat. Tingginya kebutuhan dunia menjadi salah satu faktor pendorong minat investor tadi. Apalagi harga produk oleokimia seperti fatty acid dan fatty alcohol menunjukkan grafik kenaikan sepanjang beberapa tahun terakhir.
Stefanus Goei King An, Penasehat Asosiasi Produsen Olekimia Indonesia, mengatakan produksi oleokimia tahun ini dapat meningkat menjadi tiga juta ton, atau naik 50% dari tahun lalu yang sekitar dua juta ton. Peningkatan ini tidak terlepas dari munculnya perusahaan baru dan penanaman modal dari perusahaan yang sudah ada.
Perusahan oleokimia kawakan seperti Permata Hijau Grup, Sinar Mas Grup, dan Wilmar Grup, meningkatkan kapasitas produksinya lewat investasi baru. Adapula, Grup Asian Agri yang sedang pabriknya dalam proses under construction. Sebagian besar mereka menghasilkan produk fatty acid, yang kapasitasnya rata-rata 400-500 ton per hari. Stefanus mengatakan perusahan dari luar negeri juga berminat seperti KLK Kepong. Total investasi di tahun ini diperkirakan mencapai US$ 1 miliar dari lima perusahaan tadi. Jumlah ini meningkat 100% dari tahun kemarin yang sebesar US$ 500 juta.
Dijelaskan kembali, minat investor ini tidak terlepas dari skema bea keluar CPO yang menetapkan pajak ekspor produk oleokimia lebih rendah dari CPO. Sebab, hampir 80% penjualan oleokimia ditujukan ke pasar ekspor sedangkan sisanya dikonsumsi dalam negeri.
Kesulitan yang dihadapi produsen oleokimia adalah buruknya sokongan infrastruktur terutama pelabuhan. Sudah semenjak lama, perusahan oleokimi berurusan dengan antrian kapal atau demurrage untuk mendistribusikan produknya ke kapal. Hal ini berdampak kepada penambahan biaya pengiriman produk ke luar negeri. Padahal, kata Stefanus Goei King An, industri oleokimia ini bersifat padat modal yang memerlukan dukungan insentif. Sebagai gambaran, investasi produk fatty acid sebesar US$ 500 juta dan fatty alcohol US4 400 juta.
“Beruntung pihak perbankan, sudah berminat memberikan pinjaman kepada kami. Dulu itu, bank enggan menyalurkan kreditnya karena masa pengembalian investasi dapat mencapai 10 tahun,” kata Stefanus.
Chris de Lavigne, Global Vice President Consulting Frost&Sullivan, menjelaskan pertumbuhan investasi ini tidak terlepas dari meningkatnya permintaan fatty acid dan fatty alcohol dalam beberapa tahun mendatang. Dalam presentasinya, digambarkan konsumsi global fatty acid sebanyak 6,5 juta ton dengan nilai US$ 6,5 miliar.
Tingkat pertumbuhan kebutuhan fatty acid, kata Chris de Lavigne, akan terkonsentrasi di kawasan Asia Pasifik. Rata-rata pertumbuhan sebesar 5,9%. Berbeda dengan wilayah Amerika dan Uni Eropa yang permintaan di masig-masing negara sebesar 0,9% dan 1,1%.
Sedangkan, fatty alcohol meningkat konsumsinya sebesar 2,1 juta ton dan nilainya mencapai US$ 5 miliar. Menurut Chris de Lavigne, konsumsi fatty alcohol lebih didominasi negara-negara dari kawasan Amerika Selatan, Uni Eropa, dan Amerika Utara. Sedangkan permintaan dari negara di kawasan Asia masih rendah seperti di Cina, Jepang, India dan termasuk Indonesia.
Togar Sitanggang, Ketua Asosiasi Produsen Oleokimia Indonesia, menerangkan demand dan permintaan oleokimia jaraknya tidak terlalu jauh. Kapasitas oleokimia diperkirakan akan terus meningkat mengikuti permintaan.
Ditambahkan Stefanus Goei King An produk oleokimia ini memiliki pangsa pasar khusus untuk produk deterjen untuk pasar Asia. Pengguna oleokimia utama di dalam negeri antara lain industri ban, kosmetik, dan detergen.
Chris de Lavigne memproyeksikan kapasitas produksi fatty acid dan fatty alcohol akan naik masing-masing tiga juta ton dan satu juta ton sepanjang 2012-2015. Sehingga total kapasitasnya menjadi sembilan juta ton dan lima juta ton. Pada 2011, produksi fatty acid dunia baru sebesar sembilan juta ton dan fatty alcohol mencapai empat juta ton. Penopang kenaikannya berasal dari minimnya pintu hambatan ekspor produk oleokimia dan tumbuhnya pasar.
Penggunaan oleokimia yang berbasis CPO akan meningkat sebagai subtitusi petrokimia dari minyak fosil. Menurut Stefanus Goei King An, tingkat subtitusinya akan mencapai 20%-30% dari sekarang ini yang baru 10%, karena pengguna akan meminta produk yang ramah lingkungan dan dapat diperbaharui. Kondisi sekarang ini, produksi oleokimia dari minyak sawit mampu menggantikan oleokimia yang berasal dari tallow di Uni Eropa
Posisi Indonesia yang menjadi lumbung CPO Indonesia sangatlah strategis untuk dijadikan pusat industri oleokimia nasional. Dapat dikatakan suplai bahan baku mudah diperoleh sehingga produsen lebih kompetitif dalam menjual produknya di pasar internasional. Apalagi pemerintah telah mendukung dengan pemberian insentif pajak ekspor.
Togar Sitanggang memproyeksikan Indonesia dapat menjadi produsen utama CPO dunia dalam beberapa tahun mendatang. Sekarang saja, Indonesia menempati posisi kedua menjadi produsen utama oleokimia, dibawah Malaysia.
Abdul Rachim, Sekretaris Direktur Jenderal Agrokimia Kementerian Perindustrian, memaparkan tren industri oleokimia nasional meningkat setiap tahunnya yang didukung pertumbuhan pasar dan dukungan kebijakan pemerintah. Sekarang ini, produk oleokimia yang telah dihasilkan sudah bernilai tambah tinggi antara lain Fatty Acid, Fatty Alcohol, Glycerine, dan Methyl Ester.
Kapasitas produksi oleokimia ditargetkan akan tumbuh sampai empat juta ton. Hal ini sesuai dengan rancangan aturan pemerintah untuk mengembangkan produk hilir sawit, lewat Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 13 tahun 201. Regulasi ini menjadi panduan dan roadmap pengembangan industri hilir sawit ke dalam klaster industri.
Pada awal tahun kemarin, pemerintah mendukung industri oleokimia dengan pemberian tax holiday selama lima tahun kepada Unilever lewat anak usahanya PT Unilever Oleochemical. Perusahaan ini berencana membangun refineri oleokimia yang senilai Rp 1,2 triliun di Sei Mangkei, Sumatera Utara. Ketentuan ini mendapatkan payung hukum berupa Keputusan Menteri Keuangan Nomor 462 Tahun 2012.
Secara akumulatif, Kementerian Perindustrian mencatat investasi di sektor oleokimia mencapai Rp 14 triliun sampai tahun 2012. Abdul Rachim mengatakan sudah ada 12 proyek investasi yang mendapatkan izin tapi belum masuk proses pembangunan.Investasi ini tumbuh di Sumatera Utara, Riau, dan Kalimantan.
Saat ini, ada sembilan perusahaan yang menjadi produsen oleokimia antara lain lain PT Ecogreen Oleochmicals (Djarum Grup), PT Sumiasih, PT Soci Mas (Sinarmas Grup), Musim Mas Grup, Wilmar Grup, PT Nubika Jaya (Permata Hijau Grup), PT Domba Mas dan PT Flora Sawita Chemindo (Bakrie Grup), dan PT Cisadane Raya Chemical.
Ke depan, jumlah pemain baru industri oleokimia akan bertambah lagi setelah munculnya investor seperti Asian Agri Grup, KLK, dan PT Unilever. (Qayuum)