Di negara asalnya, Malaysia, benih sawit DXP SEU Supreme telah teruji sebagai benih yang produktivitasnya tinggi dari segi buah sawit dan rendemen minyak. Tetapi bagaimana dengan di Indonesia?
Moh. Reza Tirtawinata, Direktur Riset dan Pengembangan PT Sasaran Ehsan Mekarsari, menjelaskan benih ini dipilih untuk dikembangkan sekaligus dikomersialkan karena tahan terhadap perubahan cuaca. Salah satu masalah yang dihadapi tanaman sawit di Indonesia adalah produksi buah sawit dapat turun drastis apabila cuaca berubah cepat.
Ditambahkan kembali, pohon Supreme akan stabil produksi buah sawitnya ketika terjadi musim stres. Sebagai contoh, ketika waktu musim hujan tiba, produksi sawit biasa akan berproduksi tinggi tetapi memasuki musim kemarau produksinya turun drastis yang akan berdampak kepada kegiatan pengolahan di pabrik sawit. Dengan pohon Supreme, produksi sawit pada musim kemarau relatif stabil sehingga mengoptimalkan kinerja pabrik.
Ditinjau dari aspek agronomi, tipe lahan yang digunakan benih sawit ini di Malaysia berupa tanah berkapur dan padas. Sementara di Indonesia, kata Reza Tirtawinata, jenis tanah vulkanik sangat menguntungkan untuk pertumbuhan benih tersebut.
Benih sawit ini memiliki potensi produktivitas Tandan Buah Segar (TBS) sawit berkisar 28-30 ton per hektare per tahun. Sementara, tingkat rendemen CPO sekitar 25%-28% dan yield CPO rata-rata 7,5 ton per hektare. Pertumbuhan tanaman berkisar 25-30 centimeter per tahun dan diameter batang pohon lebih besar. Pada usia ke-18, tinggi pohon hanya berkisar empat meter.
Berdasarkan populasi pohon, satu hektare dapat mencapai 136 pohon untuk lahan yang subur. Sedangkan di lahan marjinal, satu hektare kebun ditanami 143 pohon. Hal ini terkait dengan efisiensi penutupan luas areal tajuk dan produktivitas TBS per hektare.
Reza menyatakan potensi genetik ini dapat dioptimalkan hasilnya asalkan pelaku usaha memberikan perlakuan khusus kepada tanaman. Jadi, perawatan tanaman tidak dilakukan secara serampangan yang akan berakibat hasil tanaman tidak optimal. (am)