Pemerintah memutuskan pencabutan pungutan ekspor sawit. Kebijakan ini cukup berpengaruh mengerek harga. Bagi sektor hulu kebijakan ini cukup menguntungkan, berbeda dengan hilir.
Pemerintah melalui Kementerian Keuangan resmi menerbitkan beleid penghapusan pungutan ekspor produk sawit. Beleid ini dikeluarkan pada 4 Desember 2018 melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 152/PMK.05/2018 mengenai Perubahan atas PMK Nomor 81/PMK.05/2018 tentang Tarif Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit Pada Kementerian Keuangan.
Aturan ini menjelaskan bahwa Tarif Pungutan ditetapkan berdasarkan batasan lapisan nilai harga Crude Palm Oil (CPO). Patokan harga dibagi tiga lapis yaitu <US$570/ton, US$570/ton-US$619/ton, >US$619/ton. Setiap lapisan harga inilah yang menjadi rujukan untuk pengenaan tarif pungutan.
Selain itu, penetapan harga CPO diatur oleh Kementerian Perdagangan sebagaimana diatur dalam Pasal 4A. Dalam pasal 4A. Ayat 1 yang menetapkan harga CPO mengacu harga referensi yang ditetapkan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan.
Selain itu, ayat 2 mengatur pemerintah akan melakukan evaluasi setiap bulan terhadap pelaksanaan pengenaan tarif pungutan yang menggunakan harga CPO. Kemudian, menetapkan Komite Pengarah BPDP KS dapat melakukan review sewaktu-waktu terhadap tarif pungutan sebagaimana terdapat pada ayat 3.
Peraturan Menteri Keuangan ini meniadakan tarif pungutan ekspor kepada produk hulu dan hilir sawit termasuk biodiesel, apabila harga masih di bawah US$570/ton.
Tetapi, aturan ini juga mengatur apabila harga berada di kisaran US$ 570-US$ 619/ton, maka tarif pungutan untuk minyak sawit mentah (CPO) sebesar US$ 25/ton. Sementara, tarif produk turunan bervariasi antara US$ 10/ton-US$ 25/ton.
Jika harga di atas US$619/ton, tarif pungutan CPO kembali semula menjadi US$ 50/ton. Untuk produk hilir dikenakan tarif antara US$ 20-US$ 40/ton.
Terbitnya PMK 152/2018 menindaklanjuti Rapat yang dipimpin Menteri Koodinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, pada 16 November 2018. Rapat memutuskan untuk membebaskan pungutan ekspor CPO dan turunan dengan pertimbangan anjloknya harga sawit di pasar internasional.
Dalam jumpa pers saat itu, Menteri Darmin menjelaskan keputusan pencabutan pungutan ekspor karena harga CPO terus menurun hingga 23 November 2018 menyentuh angka US$410/ton. “Kami membahas pergerakan harga yang menurun dengan sangat cepat pada seminggu terakhir. Padahal 8-9 hari yang lalu masih bertahan cukup lama di kisaran 530 dolar per ton,” ujar Menteri Darmin Nasution.
Kalangan petani yang paling dirugikan atas merosotnya harga CPO. Di sejumlah daerah sentra sawit, harga TBS yang diterima petani merata antara Rp 500-Rp 1.000 per kilogram.
Ketua Umum Asosiasi Petani Sawit Sawitku Masa Depanku (Samade) Tolen Ketaren menyatakan pemerintah perlu memikirkan jalan keluar agar petani sawit swadaya kembali berdaya menyusul harga tanda buah segar (TBS) sawit yang terus menukik.
Tolen mengatakan bahwa petani sawit swadaya saat ini menghadapi berbagai kesulitan. Pertama, daya beli yang menurun terutama untuk membeli pupuk yang harganya terus meningkat. “Harga pupuk terus naik sementara kita tak mampu mendapatkan pupuk subsidi,” katanya.
Selain pupuk, petani swadaya juga kesulitan membeli herbisida guna menyemprot hama. Kedua, lanjut Tolen, kebun sawit para petani swadaya saat ini tidak terurus. Perawatan yang biasanya dilakukan tiga kali menjadi sekali dalam setahun. “Gimana kita mau merawat kebun, karena untuk makan saja susah. Semua biaya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari,” ujarnya.