PANGKALAN BUN, SAWIT INDONESIA – PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk (SSMS) mampu membudidayakan 4.200 sapi di lahan sawit dalam kurun waktu tiga tahun. Presiden Joko Widodo pernah memberikan apresiasi positif kepada peternakan sapi perusahaan.
Jumlah tersebut meningkat dibandingkan tahun 2014 dimana budidaya ternak baru 200 sapi Bali dan 1.976 sapi Australia. “Naik jumlahnya, dari awalnya 200 sapi Bali menjadi 600. Serta 1.976 sapi Australia menjadi 3.600,” kata Vallauhan Subraminam COO Plantation di Kotawaringin Barat Kalimantan Tengah, Rabu (11/5).
Lebih lanjut, dia mengungkapkan dua jenis sapi tersebut merupakan varietas yang unggul dan tahan terhadap hama penyakit. “Sapi Bali walaupun pakannya nggak bagus tetap produktif itu, sedangkan sapi Australia lebih tahan kepada parasit, hama penyakit dan iklim panas,” tambahnya.
Direktur Utama PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk Rimbun Situmorang menerangkan peternakan sawit yang berintegrasi dengan perkebunan sawit memiliki prospek cerah serta berkontribusi menyerap tenaga kerja dari penduduk lokal Kalimantan Tengah.
“Ini berdampak positif dan bisa menjadi peluang bisnis apalagi kita punya lahan dan bisa menghemat pakan pula. Manfaat lain memperbaiki ekonomi masyarakat tentunya,” kata
Awalnya, kata dia, ide peternakan sapi berasal dari kegemaran pemilik PT Citra Borneo Indah Abdul Rasyid memelihara hewan penghasil daging dan susu tersebut. Kemudian, PT SMSS sebagai anak perusahaan mempertimbangkannya menjadi peluang usaha yang menguntungkan sejak 2014.
Lebih lanjut, dia mengungkapkan setelah beberapa tahun berjalan ternyata usaha ini mendapat perhatian besar dari Presiden Joko Widodo yang sempat berkunjung ke lahan sawit milik PT SMSS di Desa Sulung Kabupaten Kotawaringin Barat Kalimantan Tengah. Orang nomer satu di Indonesia itu meminta pengusaha-pengusaha lain meniru bisnis tersebut. “Soal sapi ini sangat dihargai presiden sampai meminta para Dirjen untuk menindaklanjuti agar pengusaha lain melihatnya,” terangnya.
Padahal, dalam awal perintisan bisnis sapi ini sempat terkendala perizinan dari pemerintah hingga infrastruktur penunjangnya. “Cukup lama sampai menunggu 3 tahun, contohnya sulitnya sinkronisasi dengan pemerintah. Mereka harapkan seperti ini tapi infrastruktur jadi sulit sinkron apalagi setelah otonomi,” pungkasnya. (Ferrika Lukmana)