Semakin rendahnya harga CPO dunia, industri bahan bakar nabati khususnya biodiesel diharapkan dapat berperan lebih untuk menyerap stok CPO dalam negeri. Langkah ini dinilai efektif sebab biodiesel selama tiga tahun terakhir menjadi tumpuan sumber energi di sektor transportasi, pembangkit listrik, dan industri. Tetapi kebijakan biodiesel yang bersifat mandatori, pada kenyataannya baru sebatas himbauan kepada pelaku industri.
Immanuel Sutarto, Presiden Direktur PT Eterindo Wahanatama Tbk, sedikit lega dengan penjualan biodiesel perusahaannya pada 2012. Volume penjualan tercatat naik 61,6% menjadi 62.693 metrik ton atau lebih tinggi dari penjualan tahun sebelumnya yang berjumlah 38.788 metrik ton. Kenaikan ini cukup menggembirakan lantaran semenjak 2009 penjualan biodiesel terbilang sangat rendah. Dalam laporan tahunannya, penjualan biodiesel Eterindo hanya 1.568 metrik ton pada 2009, selanjutnya mulai tumbuh menjadi 11.585 metrik ton pada 2010.
Tahun lalu, faktor pendorong kenaikan permintaan biodiesel di pasar domestik akibat tingginya penyerapan Pertamina seperti terlampir dalam Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) No.32/2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan Dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain. Dalam regulasi ini telah ditetapkan campuran biodiesel naik dari 5 % (B-5) menjadi 7,5 %(B-7,5) untuk sektor transportasi per Februari 2012 dan pemakaian 25 (B-2) untuk Sektor Industri/ Pertambangan per Juli 2012.
Tidak hanya Immanuel Sutarto gembira dengan penjualan biodiesel tahun lalu, tetapi juga perusahaan biodiesel lainnya. Purnardi Djojosudirjo, Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia, mengakui penjualan biodiesel tahun 2012 lebih baik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Dari data Kementerian ESDM, total produksi biodiesel nasional mencapai 1.654.260 kiloliter (kl) pada 2012,dibandingkan tahun sebelumnya berjumlah 1.450.118 kiloliter (kl).
Performa inilah yang membuat kalangan pelaku sawit berharap tingginya stok CPO dapat diserap oleh kalangan pelaku industri biodiesel. Dalam jumpa pers GAPKI awal tahun, Joko Supriyono selaku Sekretaris Jendral Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), meminta pemerintah serius untuk meningkatkan konsumsi biodiesel di dalam negeri. Ada dua keuntungan yang diperoleh dalam pemakaian biodiesel; pertama, konsumsi CPO akan dapat meningkat melalui pertumbuhan penggunaan biodiesel. Rata-rata konsumsi CPO di dalam negeri mencapai 7 juta ton per tahun.
Manfaat lain, kata Joko Supriyono, pemerintah dapat mengurangi impor minyak mentah lewat peningkatan campuran biodiesel. Seiring dengan peningkatan produksi CPO nasional tahun ini yang mencapai 28 juta ton, maka akan lebih tepat apabila industri biodiesel menyerap minyak sawit dalam negeri. “Biodiesel menjadi peluang terbaik untuk peningkatan konsumsi CPO di dalam negeri,” ujar Joko Supriyono.
Harapan tadi sebenarnya tidak hanya dari kalangan pengusaha sawit melainkan pemerintah pula. Sewaktu harga anjlok jelang tutup tahun 2012, Suswono selaku Menteri Pertanian menawarkan solusi penyerapan suplai CPO nasional dari pemakaian biodiesel di dalam negeri. Langkah yang diambil ini merupakan salah satu klausul dalam kerjasama dengan Malaysia untuk menjaga suplai CPO di pasar internasional.
Di beberapa negara, pengembangan biofuel berbasis minyak nabati sudah dikembangkan yang mandatori. Uni Eropa telah semenjak 10 tahun lalu menggunakan campuran biofuel di sektor transportasinya, yang bahan bakunya diambil dari minyak rapeseed. Total produksi rapeseed di Uni Eropa tahun ini diproyeksikan 18 juta metrik ton. Namun, konsumsi rapeseed di Uni Eropa menghadapi dilema akibat penggunaannya juga tinggi untuk sektor pangan sehingga terjadi tarik menarik kepentingan dengan sektor transportasi. Itu sebabnya, biodiesel sawit lebih diminati karena harganya kompetitif dari biodiesel minyak nabati lain seperti kedelai.
Data Eurostat menunjukkan 90% atau 2,5 juta metrik ton impor biodiesel pada 2011, dipasok biodiesel sawit dari Indonesia dan biodiesel kedelai Argentina. Tingkat selisih harga kedua produk impor ini sekitar US$ 60-US$ 110 per metrik ton dari biodiesel yang diproduksi Uni Eropa. Namun murahnya harga jual biodiesel sawit ini, menurut Purnardi, yang memicu tuduhan dumping dari pemerintah Uni Eropa. Saat ini, Komisi Anti Dumping Uni Eropa sedang menginvestigasi tuduhan ini dengan jangka waktu sembilan bulan.
UTILISASI RENDAH
Tingginya potensi biodiesel ini tidak sejalan dengan masalah yang dihadapi produsennya. Hal ini dapat terlihat dari utilisasi industri biodiesel ini terbilang rendah yang baru mencapai 34,5% atau 1,65 juta kiloliter dari total kapasitas terpasang 4,2 juta kiloliter Per 31 Desember 2012. Purnardi Djojosudirjo, memaparkan kebijakan hilir sawit yang digulirkan pemerintah masih terbatas kepada minyak goreng saja, sementara industri biodiesel kurang dioptimalkan. Dengan turunnya harga CPO ini merupakan kesempatan untuk meningkatkan serapan biodiesel di dalam negeri.
Masalahnya, perusahaan biodiesel mengandalkan penjualan domestik ke sektor transportasi, dalam hal ini Pertamina. Sementara, sektor industri dan pembangkit listrik tidak seluruhnya menggunakan biodiesel. Sebagai contoh, penjualan biodiesel ke industri pertambangan wilayah Sumatera maupun Kalimantan sulit dilakukan karena produsen berada di Jawa. Kalaupun ingin mengembangkan pasar ke luar Jawa, setidaknya perlu tanki penyimpanan biodiesel. Purnardi mengakui pembangunan tanki bersifat jangka panjang untuk mempermudah kegiatan pengiriman biodiesel.
Immanuel Sutarto mengakui sektor transportasi menjadi pengguna terbesar dari biodiesel hampir 92%, khususnya melalui jalur Pertamina. Dari total volume penjualan 2012, kontribusi terbesar dari Pertamina mencapai 57.678 metrik ton dan non Pertamina sebanyak 5.015 metrik ton.
Meski demikian, konsumsi biosolar yang merupakan campur biodiesel dan BBM baru mencapai sekitar 12,3% atau 9,258 juta kiloliter, dari total konsumsi BBM yang mencapai 75,07 juta kiloliter. Setidaknya data ini menunjukkan biodiesel sulit belum menjadi perhatian serius dari pemerintah, meskipun roadmap pengembangan BBN telah dibuat semenjak tujuh tahun lalu.
Inne Dwiastuti, Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dalam penelitiannya mengungkapkan sulitnya biodiesel berkembang akibat harga produk ini masih bersifat substitusi dari Bahan Bakar Minyak, bukan bersifat independen. Ini berarti, permintaan biofuel sangat bergantung dari harga bahan bakar nabati dan bahan bakar minyak itu sendiri. Kalau BBM naik, maka konsumen beralih ke BBN dan berlaku sebaliknya.
TARGET DINAIKKAN
Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konversi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM mendorong penggunaan biodiesel di sektor transportasi, industri dan pembangkit listrik pada tahun ini. Serangkaian kebijakan maupun target telah ditetapkan untuk menaikan secara bertahap pemakaian biodiesel. Salah satunya, peningkatan persentase pencampuran biodiesel ke dalam BBM bersubsidi pada tahun ini menjadi 10%, dari sebelumnya 7,5%. Peningkatan ini diharapkan dapat meningkatkan target pemakaian biodiesel di sektor transportasi dari 1,5 juta kiloliter pada tahun ini dibandingkan tahun sebelumnya berjumlah 700 ribu kiloliter.
Rida Mulyana, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konversi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, menyatakan pemakaian bahan bakar nabati (nabati) biodiesel akan dilakukan secara bertahap yang akan dimandatkan kepada seluruh industri. Tahapan awal dimulai dari industri tambang mineral dan tambang batubara karena tingginya konsumsi BBM mereka. Setelah itu, barulah diterapkan kepada industri besi dan baja. Dari total konsumsi BBM yang mencapai 25,1 juta kiloliter, sektor industri memerlukan sekitar 7 juta kiloliter atau 28%.
Untuk industri baja, Kementerian ESDM telah mewajibkan pemakaian bahan bakar nabati sebesar 5%. Dadan Kusdiana, Direktur Bioenergi Kementerian ESDM menjelaskan sebenarnya dalam roadmap itu konsumsi industri sebesar 10% namun tahap awal dicoba dulu minimal 5%. Dengan pertimbangan, harga CPO sedang rendah sehingga lebih murah untuk digunakan. Sektor industri dan baja mempunyai tingkat konsumsi BBM sebesar dua juta kiloliter (kl), kalau mandatori dilaksanakan akan dicapai penghematan sektiar 100 ribu kl.
Di sektor listrik, PT PLN pertengahan tahun lalu telah mengujicoba pemakaian BBN campuran 5% di limaa pembangkit listrik tenaga diesel, yang membutuhkan biodiesel sebanyak 2,6 juta liter. Kelima PLTD tersebut adalah PLTD Petung, PLTD Tanah Grogot di Kalimantan Timur, dan PLTD Pagatan di Kalimantan Selatan, dua PLTD berada di Kalimantan Barat adalah PLTD Singkawang dan PLTD Sanggau.
Yang sangat disayangkan, kewajiban pemakaian biodiesel kepada dunia industri tidaklah tegas karena sebatas penyadaran saja. Rida Mulyana mengakui mandatori BBN yang dipayungi peraturan menteri ini tidak memberikan sanksi kepada pelaku industri yang belum mengimplementasikan BBN. Itu sebabnya, penerapan biodiesel kurang efektif di kalangan pengusaha industri maupun tambang mineral.
Purnardi Djojosudirjo mengatakan pemerintah semestinya dapat membantu penyelesaian hambatan di industri biodiesel ini, seperti infrastruktur dan hambatan ekspor. Apabila, tahun ini realisasi biodiesel di sektor transportasi benar mencapai 1,5 juta kl, artinya produksi CPO nasional akan terserap 1,5 juta ton pula. Angka ini belum termasuk penjualan biodiesel untuk kepentingan ekspor.
Immanuel Sutarto, menuturkan sukses atau tidaknya kebijakan pemakaian biofuel sangat bergantung konsistensi dan niatan pemerintah. Dengan pemakaian biodiesel sebagai campuran minyak diesel/solar sebesar 10%, maka permintaan biodiesel dipastikan akan meningkat. Inipun belum termasuk dengan sektor industri lain jika mandatori benar-benar diterapkan. (Qayuum Amri/Bebe)