Aturan perdagangan tarif maupun non tarif di negara pembeli seperti Cina dan India, tidak boleh dianggap remeh. Apalagi, Malaysia telah menetapkan pajak ekspor 0% untuk CPO. Tetapi, kalangan eksportir tetap optimistis CPO Indonesia dapat bersaing.
Kebijakan pemerintah India yang menetapkan pajak impor CPO maupun minyak kedelai sebesar 2,5% dan refined oil sebesar 7,5%, cukup mengagetkan kalangan eksportir minyak nabati. Kebijakan ini diambil sebagai reaksi atas kebijakan Malaysia menerapkan pajak ekspor 0% untuk CPO. Tujuan lain, melindungi petani India yang menghasilkan kanola dan kacang tanah sebagai komoditi utama India. Kecemasan petani India ini sangat beralasan karena harga CPO negeri jiran bisa jadi lebih murah dari hasil pertanian mereka.
Di Cina, menjelang akhir tahun kemarin pemerintah setempat mengeluarkan regulasi yang meminta standar kualitas produk olahan CPO khususnya olein. Standar ini meminta penurunan kadar stearic acid dan peroxide di produk olahan CPO dengan pertimbangan kesehatan.
Fadhil Hasan, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), menjelaskan kebijakan India yang menetapkan pajak impor CPO dapat merugikan produk CPO Indonesia karena bea keluarnya sudah mencapai 9%. Sedangkan, Malaysia sudah memberlakukan pajak impor CPO 0%. “Khawatirnya daya saing produk CPO Indonesia akan kalah dengan Malaysia,” ujar Fadhil.
Menurut Fadhil, pajak impor CPO oleh India tadi ditujukan melindungi industrinya di dalam negeri akibat sulit bersaing dengan CPO. Jadi, kalau tidak ada pajak impor produk pertanian mereka semakin terdesak di pasar dalam negerinya.
Cina dan India merupakan konsumen utama sekaligus pasar tradisional CPO Indonesia. Jumlah ekspor CPO Indonesia ke India rata-rata mencapai 5 juta- 6 juta ton per tahun, sedangkan ekspor CPO ke Cina sebanyak 3 juta ton per tahun. Kebutuhan impor CPO India setiap tahunnya diperkirakan 7 juta-8 juta ton dari total kebutuhan minyak nabatinya mencapai 16 juta-17 juta ton per tahun. Sedangkan, permintaan CPO dari Cina diperkirakan berjumlah 6 juta ton per tahun.
Derom Bangun, Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) optimistis ekspor CPO tahun ini tidak akan terganggu kebijakan tarif impor yang diberlakukan India karena konsumen di negara yang berpenduduk lebih dari satu miliar jiwa ini menginginkan minyak makan berharga murah. Sebenarnya , India menghadapi dilema antara melindungi petani dan masyarakatnya sebagai konsumen minyak makan.
“Jadi di India, itu ada tarik menarik kepentingan antara petani dan pembeli minyak makan,” kata Derom.
Faktor lainnya berasal dari pemulihan ekonomi di Uni Eropa dan Amerika yang akan berpengaruh kepada India. Menurut Derom Bangun, kedua negara tadi merupakan importir utama produk-produk India sehingga cukup mempengaruhi daya beli masyarakat. Sekarang ini, kondisi ekonomi yang mulai membaik akan berpengaruh positif kepada permintaan minyak makan India.
Tahun ini, GAPKI memproyeksikan ekspor CPO sebesar 21 juta ton yang naik dari 2012 berjumlah 18,1 juta ton. Kenaikan ini dipengaruhi perjanjian Preferential Trade Agreement (PTA) antara Pakistan dengan Indonesia. Sehingga, produk CPO Indonesia dapat bersaing dengan Malaysia.
J.Joelianto, Direktur PT Sinar Mas Agro Resources and Technology (SMART) Tbk, memaparkan saat ini impor India masih sebagian besar dalam bentuk CPO karena industri disana menginginkan industri mereka tetap berjalan. Namun, tahun lalu Olein yang masuk cukup tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya akibat kebijakan BK CPO Indonesia yang kompetitif dibandingkan olein Malaysia.
Dia menambahkan permintaan CPO dari China relatif stagnan karena masih harus memperhitungkan kemungkinan impor kedelainya. Sebab, industri di Cina akan menghasilkan minyak kedelai dari hasil industri pengolahan sendiri. “Peraturan yang diterapkan Cina tidak akan berpengaruh terhadai penjualan CPO perusahaan kami, karena manajemen mengutamakan kualitas produk. Ke depan, penjualan ke Cina akan terus kami tingkatkan di masa mendatang,” kata Joelianto kepada SAWIT INDONESIA. (Qayuum Amri)