Peraturan Menteri Pertanian No. 26 tahun 2007 Tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan perlu direvisi. Beleid ini harus disesuaikan dengan kondisi di lapangan dan untuk menciptakan kepastian usaha dalam berkebun sawit.Sadino, Direktur Eksekutif Biro Konsultasi Hukum dan Kebijakan Kehutanan, mengungkapkan, Permentan No.26/20007 perlu disempurnakan untuk mengakomodir hal-hal yang secara teknis dan implementasi di lapangan tidak dapat dijalankan. “Peraturan yang baik, khususnya peraturan menteri memang sudah seharusnya bersifat fleksibel karena harus disesuaikan dengan kondisi di lapangan,” ujar Sadino.
Sadino menambahkan, kondisi di Indonesia ini sangat berbeda dari satu daerah dengan daerah lain yang setiap wilayah kadaerahan mempunyai karasteristik masing-masing. Menurutnya, peraturan ini memang perlu penyesuaian-penyesuaian dengan dinamika masyarakat dan tentunya untuk lebih memberikan kepastian hukum akan usaha perkebunan itu sendiri.
Jika tidak disempurnakan, katanya, itu salah karena saat ini usaha perkebunan, khususnya sawit mendapat sorotan negatif dari berbagai pihak. Oleh karena itu, perlu dilakukan pembenahan dan perbaikan. “Perbaikannya harus kepentingan stakeholders bukan hanya kepentingan satu pihak saja,” ujar Sadino.
Sadino mengatakan ada beberapa pasal di permentan ini harus disempurnakan seperti kebun plasma, sistem pelaporan dan evaluasi usaha perkebunan, pelaku evaluasi, dan pelaku monitoring. Data ini dapat dipakai bagi kepastian penggunaan lahan itu sendiri supaya pemerintah punya data akurat yang berkaitan dengan perusahaan. Jadi, akan diketahui perusahaan yang beroperasi dengan baik, atau sekadar menjual izin dan kepemilikan usaha.
Dia mengusulkan ada beberapa pasal yang perlu disempurnakan. Pertama, plasma harus jelas, karena hal ini akan terjadi kepemilikan yang tidak terpusat kepada perusahaan sawit. Kelembagaan plasma harus benar-benar dibangun dan berkomitmen sejak awal agar usaha perkebunan merasa dimiliki secara bersama. “Tujuan akhirnya adalah keberlanjutan dari usaha kebun itu sendiri. Lembaga ekonomi masyarakat bisa berkembang sehingga melahirkan kemitraan yang lebih solid ke depannya,” katanya.
Kedua, mengenai pembinaan, monitoring dan evaluasi. Kementerian Pertanian, khususnya Dirjen Perkebunan wajib melakukan itu karena Kementerian Pertanian akan membuat standar usaha perkebunan yang berkelanjutan dan harus mempunyai data yang baik. Standar kelestarian usaha perkebunan seperti ISPO sangat terkait dengan ketersediaan dan peran Pemerintah Pusat.
Terkait perijinan untuk pengolahan hasil perkebunan, persyaratan perijinan mesti terkait dengan pendaftaran perizinan usaha perkebunan. Hal ini diperlukan oleh Kementerian Pertanian supaya pemerintah pusat dapat membantu terhadap perusahaan yang mengalami masalah di lapangan. “Juga bisa menangkal tuduhan-tuduhan dari negara lain yang tidak senang atas kemajuan usaha perkebunan di Indonesia,” tukas Sadino.
Eddy Martono, Ketua Bidang Kebijakan Pemerintah Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), mengatakan revisi izin usaha perkebunan tersebut sebaiknya perlu diikuti dengan penyelesaian hambatan di dalam negeri mengenai kebijakan pemerintah terkait tata ruang. Perlu sebuah komitmen dari pemerintah untuk menyelesaikan masalah itu karena sampai hari ini rencana tata ruang belum selesai di banyak daerah. Lalu, pembangunan lahan plasma oleh perusahaan sawit sulit dilakukan tanpa kejelasan tata ruang yang mengakibatkan lahan plasma belum dapat dialokasikan.
Pembatasan Lahan
Kementerian Pertanian yang dibantu Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) sedang menggodok revisi Izin Usaha Perkebunan. Salah satu, usulan yang dibahas adalah membatasi penguasaan lahan kelapa sawit seluas 100 ribu hektare yang dimiliki kelompok perusahaan. Aturan ini merupakan perbaikan dari Peraturan Menteri Pertanian No. 26 tahun 2007 sebelumnya yang menjelaskan lahan yang dibatasi berlaku untuk perusahaan sehingga perlu dibentuk holding oleh perusahaan.
Sadino mengatakan kalau usulan pembatasan lahan ingin dilakukan sebaiknya dijalankan revisi terhadap UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan yang tidak pernah mengatur grup perusahaan. Sementara, klausul yang ada di regulasi tersebut mengenai ketentuan luas maksimum pada jenis tanaman, ketersediaan tanah yang sesusi dengan agroklimat, modal, kapasitas pabrik, tingkat kepadatan penduduk, pola pengembangan usaha, kondisi geografis dan perkembangan teknologi.
“Jika UKP4 tetap menginginkan pembatasan lahan, maka perlu dicermati pintu masuknya darimana karena UU Perkebunan tidak pernah mengaturnya. Hal ini sulit diatur karena mekanisme yang berlaku adalah hukum peruhaan yang diatur didalam UU Perseroan Terbatas,” ujar Sadino.
Sadino menambahkan apabila tetap dipaksakan wajib diikuti dengan revisi peraturan lain di bidang perkebunan, pertanahan dan pemerintahan daerah yang menjadi dasar pemberian izin usaha perkebunan dan hak atas tanah di Indonesia. “Ini membutuhkan proses yang sangat lama, dan jika Permentan akan mengatur pembatasan lahan yang tidak sesuai dengan peraturan yang lebih tinggi akan dipersoalkan secara hukum oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan,” katanya.
Selain itu, katanya, telah adanya Putusan MK No. 55/PUU-VIII/2110 yang menyatakan bahwa Pasal 21 beserta penjelasannya, Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan bertentangan dengan UUD 1945. Ketentuan Pasal 21 beserta penjelasannya, Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sejak 6 September 2011.
Eddy Martono menegaskan pembatasan lahan yang ingin dilakukan pemerintan sebaiknya mempertimbangkan sifat dari bisnis kelapa sawit yang padat modal. Hal ini perlu diperhatikan kalau target produksi pemerintah sebesar 40 juta ton pada 2020, ingin dapat terealisasi. (Bebe/Qayuum)