Demi kepentingan pertumbuhan, lima aturan pemerintah yang berkaitan dengan pemanfaatan lahan diminta untuk direvisi. Usulan ini datang dari pakar, akademisi dan pelaku bisnis.
Pertengahan Juli kemarin, hampir 100 pakar ilmu tanah dan gambut berkumpul di IPB International Convention Center, Bogor pada Seminar Nasional Pengelolaan Lahan Berkelanjutan. Kegiatan ini merupakan bagian dari kerjasama Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI) dan Himpunan Gambut Indonesia (HGI) yang bekerjasama dengan Institut Pertanian Bogor (IPB). Hadir pula perwakilan dari Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian, dan lembaga penelitian.
Selama satu hari penuh, peserta seminar membahas kajian akademis peraturan pemerintah yang berkaitan dengan pemanfaatan lahan. Antara lain, Keputusan Presiden (Kepres) No.32 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, Peraturan Pemerintah (PP) No.150 tahun 2000 tentang Pengendalian Kerusakan Tanah untuk Produksi Biomassa dan PP No.4 tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan, dan Instruksi Presiden (Inpres) No.6 tahun 2013 yang mengatur tentang perpanjangan penundaan izin baru di hutan primer dan lahan gambut.
Yuswanda A Temenggung, Ketua HITI, menjelaskan regulasi yang disebutkan tadi tidak lagi mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi yang ada. Itu sebabnya, peraturan tadi dapat dikatakan sudah usang yang perlu dilakukan peninjauan kembali. Pertimbangan lainnya adalah beberapa undang-undang yang menjadi referensi peraturan tadi sudah ada perubahan, sehingga pemerintah perlu mengubah kelima peraturan tersebut.
Yuswanda mencontohkan kriteria kerusakan lahan sebagaimana terlampir dalam PP No.150/2000 dan PP No.4/2001 pada dasarnya tidak mengakomodir prinsip-prinsip keragaman tanah yang tercermin dalam kriteria sifat-sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Bahkan, tidak adanya baseline yang dapat dipakai untuk dijadikan pedoman dalam pelaksanaan. Hal ini mengakibatkan timbulnya permasalahan dalam pelaksanaan kedua PP tersebut di lapangan, dari aspek pembuat kebijakan dan pengguna lahan.
Lebih lanjut lagi, Supiandi Sabiham Ketua HGI, menggugat syarat pemanfaatan lahan gambut bahwat tidak boleh lebih dari 3 meter seperti tertera dalam Kepres No.32/1990. Masalahanya, kajian ilmiah yang mendukung pembatasan tadi tidak pernah ditampilkan. Padahal, kajian akademis dan bukti-bukti lapangan memberikan fakta lahan gambut dengan ketebalan lebih dari 3 meter sangatlah sesuai digunakan bagi kegiatan budidaya tanaman tahunan secara berkelanjutan asalkan dijalankan tata kelola air yang baik.
“ Yang perlu diketahui, pengelolaan ekohidro di lahan gambut untuk tanaman justru mengurangi degradasi lahan gambut, meningkatkan pertumbuhan tanaman penghasil biomassa, dan mengurangi emisi gas karbon,” ujar Supiandi.
Khusus aturan perpanjangan moratorium sebagaimana diatur Inpres No.6/2013 dipandang akademisi belum berpijak kepada dasar ilmiah yang kuat. Supiandi Sabiham menyatakan implementasi moratorium pemberian izin baru hutan alam primer dan lahan gambut bukan didasarkan kepada data inventarisasi yang benar dan itu sebabnya perlu direvisi kembali regulasi yang mengatur moratorium.
Dalam hal ini, baik Yuswanda dan Supiandi sepakat pengkajian ulang kepada peraturan pemanfaatan lahan yang dibahas lewat kegiatan akademik dengan melibatkan lembaga yang kompeten.
Beberapa waktu lalu, Tungkot Sipayung, Ketua Bidang Hukum dan Advokasi GAPKI, menggugat tujuan dari instruksi presiden yang mengatur moratorium yang sebenarnya berlawanan dengan pelaksanaannya karena memberikan pengecualian. Dari pihak asosiasi telah meminta kepada Presiden RI lewat surat resmi supaya hutan lindung dan hutan konservasi dilakukan moratorium permanen. Namun, inpres ini memperbolehkan secara penggunaan hutan alam dan lahan gambut untuk aktivitas ekonomi yang dinilai untuk pembangunan nasional
“Jelas sekali, hal ini tidak konsisten dengan maksud inpres ini untuk mencegah deforestasi dan pengurangan emisi karbon,” ujar Tungkot Sipayung dengan tegas.
Dalam kesempatan berbeda, Syamsidar Thamrin, Deputy Director for Weather and Climate Indonesia Climate Change Trust Fund, mengungkapkan emisi karbon tidak bergantung dari kedalaman gambut tetapi bagaimana kemampuan mengatur tingkat kebasahan. Mesti diakui, gambut ini dapat produktif tetapi untuk tanaman tertentu.
Yang perlu diperhatikan itu, menurutnya, penghitungan berapa jumlah emisi karbon yang dikeluarkan dari pembukaan lahan gambut. Metode ini masih banyak perdebatan karena sulit mengatakan emisi karbon yang sekian jumlahnya, karena apakah semua scientist dapat terima angka emisi karbon di gambut itu? Makanya, sekarang ini diambil angka tengah dari pengukuran karbon di gambut dengan mengambil batas atas dan batas paling rendah. “Harus diakui, emisi dari lahan gambut itu sangat sulit diukur,” kata Syamsidar dalam diskusi Ada Apa di Balik Kebakaran Hutan Riau pada Juli kemarin.
Namun Syamsidar menegaskan hutan konservasi dan hutan lindung itu tidak boleh dipakai. Di luar itu, masih bisa dikelola bagi kegiatan lain.
Joko Supriyono, Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), mengungkapkan regulasi yang diminta untuk direvisi tadi berpotensi menghambat laju pertumbuhan perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Menurutnya, kebutuhan minyak nabati global yang terus meningkat sampai 234 juta ton pada 2020 . Disinilah peluang minyak sawit untuk mengisi kebutuhan dunia.
Menurutnya, minyak sawit telah memberikan kontribusi besar terhadap kinerja ekspor Indonesia. Dalam hal ini, ekspor minyak sawit merupakan faktor utama yang menopang surplus ekspor Indonesia dalam beberapa tahun terakhir
Di sektor hutan industri yang diwakili Nana Suparna,Ketua Bidang Produksi Hutan Tanaman Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) mendukung langkah serta inisiatif pakar yang mengusulkan revisi peraturan-peraturan tersebut. Sejauh ini, pembangunan hutan tanaman industri (HTI) mengikuti peraturan dengan tidak akan merusak lahan atau lingkungan hidup. Di sisi lain, sektor ini menciptakan manfaat tinggi untuk pengembangan perekonomian daerah dan nasional khususnya pembukaan lapangan kerja bagi masyarakat.
Nana Suparna menegaskan HTI sudah menjadi masa depan keberlangsungan sektor kehutanan Indonesia. Peranannnya sangatlah penting guna mempertahankan keberadaan kawasan hutan produksi, dan mencegah tumbuhnya produk substitusi kayu yang tidak ramah lingkungan. (Qayuum Amri)