• Beranda
  • Rubrik
    • Analisis
    • Artikel
    • Berita Terbaru
    • Edisi Terbaru
    • Event
    • Hama Penyakit
    • Hot Issue
    • Inovasi
    • Kinerja
    • Oase
    • Palm Oil Good
    • Pojok Koperasi
    • Profil Produk
    • Sajian Utama
    • Seremoni
    • Sosok
    • Tata Kelola
  • Tentang Kami
  • Susunan Redaksi
  • Hubungi Kami
Facebook Twitter Instagram
Friday, 31 March 2023
Trending
  • CSR Membantu Pemberdayaan Petani Tanaman Pangan
  • UMKM Sawit Fokus Meraih Peluang Bisnis di ASEAN
  • Pemulia dan Pemuliaan Merupakan Kontribusi Signifikan Ketersediaan Pangan Nasional
  • Pengelolaan Lahan Gambut ASEAN
  • Produsen Alat Berat Tiongkok Resmikan Component Rebuilt Center di Balikpapan
  • Kenaikan Harga Pangan Jelang Idulfitri Berharap Tak Ada Kenaikan Signifikan
  • Bupati Indragiri Hulu Mengapresiasi Program Memerangi Stunting
  • Sustainable Finance Merupakan Hal Penting Dalam Transisi Energi Bersih
Facebook Instagram Twitter YouTube
Majalah Sawit Indonesia OnlineMajalah Sawit Indonesia Online
Subscribe
  • Beranda
  • Rubrik
    • Analisis
    • Artikel
    • Berita Terbaru
    • Edisi Terbaru
    • Event
    • Hama Penyakit
    • Hot Issue
    • Inovasi
    • Kinerja
    • Oase
    • Palm Oil Good
    • Pojok Koperasi
    • Profil Produk
    • Sajian Utama
    • Seremoni
    • Sosok
    • Tata Kelola
  • Tentang Kami
  • Susunan Redaksi
  • Hubungi Kami
Majalah Sawit Indonesia OnlineMajalah Sawit Indonesia Online
Home » Regulasi Pemanfaatan Lahan Perlu Dikaji Ulang
Tata Kelola

Regulasi Pemanfaatan Lahan Perlu Dikaji Ulang

By RedaksiSeptember 17, 20145 Mins Read
WhatsApp Facebook Twitter Telegram LinkedIn Pinterest Email
Share
WhatsApp Facebook Twitter Telegram LinkedIn Pinterest Email

Demi kepentingan pertumbuhan, lima aturan pemerintah yang berkaitan dengan pemanfaatan lahan diminta untuk direvisi. Usulan ini datang dari pakar, akademisi dan pelaku bisnis.

Pertengahan Juli kemarin, hampir 100 pakar ilmu tanah dan gambut berkumpul di IPB International Convention Center, Bogor pada Seminar Nasional Pengelolaan Lahan Berkelanjutan. Kegiatan ini merupakan bagian dari kerjasama Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI) dan Himpunan Gambut Indonesia (HGI) yang bekerjasama dengan Institut Pertanian Bogor (IPB). Hadir pula perwakilan dari  Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian, dan lembaga penelitian. 

Selama satu hari penuh, peserta seminar membahas kajian akademis peraturan pemerintah yang berkaitan dengan pemanfaatan lahan. Antara lain, Keputusan Presiden (Kepres) No.32 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, Peraturan Pemerintah (PP) No.150 tahun 2000 tentang Pengendalian Kerusakan Tanah untuk Produksi Biomassa dan PP No.4 tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan, dan Instruksi Presiden (Inpres) No.6 tahun 2013 yang mengatur tentang perpanjangan penundaan izin baru di hutan primer dan lahan gambut.

Yuswanda A Temenggung, Ketua HITI, menjelaskan  regulasi yang disebutkan tadi tidak lagi mengikuti  perkembangan ilmu dan teknologi yang ada. Itu sebabnya, peraturan tadi dapat dikatakan sudah usang yang perlu dilakukan peninjauan kembali. Pertimbangan lainnya adalah beberapa undang-undang yang menjadi referensi peraturan tadi sudah ada perubahan, sehingga pemerintah perlu mengubah kelima peraturan tersebut. 

Baca juga :   Petani Sawit Turun ke Jalan, Protes Kebijakan Uni Eropa

Yuswanda mencontohkan kriteria kerusakan lahan sebagaimana terlampir dalam PP No.150/2000  dan PP No.4/2001 pada dasarnya tidak mengakomodir prinsip-prinsip keragaman tanah yang tercermin dalam kriteria sifat-sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Bahkan, tidak adanya baseline yang dapat dipakai untuk dijadikan pedoman dalam pelaksanaan.  Hal ini mengakibatkan timbulnya permasalahan  dalam pelaksanaan kedua PP tersebut di lapangan, dari aspek  pembuat kebijakan dan pengguna lahan.

Lebih lanjut lagi, Supiandi Sabiham Ketua HGI, menggugat syarat pemanfaatan lahan gambut bahwat tidak boleh lebih dari 3 meter seperti tertera dalam Kepres No.32/1990. Masalahanya, kajian ilmiah  yang mendukung  pembatasan tadi tidak pernah ditampilkan.  Padahal,   kajian akademis dan bukti-bukti lapangan memberikan fakta  lahan gambut dengan ketebalan lebih dari 3 meter sangatlah sesuai digunakan bagi kegiatan budidaya tanaman tahunan secara berkelanjutan asalkan  dijalankan tata kelola air yang baik. 

“ Yang perlu diketahui, pengelolaan ekohidro di lahan gambut untuk tanaman justru  mengurangi degradasi lahan gambut, meningkatkan pertumbuhan tanaman penghasil biomassa, dan mengurangi emisi gas karbon,” ujar Supiandi.

Khusus aturan perpanjangan moratorium sebagaimana diatur Inpres No.6/2013 dipandang akademisi  belum berpijak kepada dasar ilmiah yang kuat. Supiandi Sabiham menyatakan implementasi  moratorium pemberian izin baru hutan alam primer dan lahan gambut bukan didasarkan kepada data inventarisasi yang benar dan itu sebabnya perlu direvisi kembali regulasi yang mengatur moratorium.

Dalam hal ini, baik Yuswanda dan Supiandi sepakat pengkajian ulang kepada peraturan pemanfaatan lahan  yang dibahas lewat kegiatan akademik dengan melibatkan lembaga yang kompeten.

Baca juga :   Petani Sawit Demo Kedubes Uni Eropa, Sampaikan 5 Tuntutan

Beberapa waktu lalu, Tungkot Sipayung, Ketua Bidang Hukum dan Advokasi GAPKI, menggugat tujuan dari instruksi presiden yang mengatur moratorium yang sebenarnya  berlawanan dengan pelaksanaannya karena memberikan pengecualian. Dari pihak asosiasi telah meminta kepada Presiden RI lewat surat resmi supaya hutan lindung dan hutan konservasi dilakukan moratorium permanen. Namun, inpres ini memperbolehkan secara penggunaan hutan alam dan lahan gambut untuk aktivitas ekonomi yang dinilai untuk pembangunan nasional 

“Jelas sekali, hal ini tidak konsisten dengan maksud inpres ini untuk mencegah deforestasi dan pengurangan emisi karbon,” ujar Tungkot Sipayung dengan tegas.

Dalam kesempatan berbeda, Syamsidar Thamrin, Deputy Director for Weather and Climate Indonesia Climate Change Trust Fund, mengungkapkan emisi karbon  tidak bergantung dari kedalaman gambut tetapi bagaimana kemampuan mengatur tingkat kebasahan. Mesti diakui, gambut ini dapat produktif tetapi untuk tanaman tertentu.

Yang perlu diperhatikan itu, menurutnya, penghitungan berapa jumlah emisi karbon yang dikeluarkan dari pembukaan lahan gambut. Metode ini masih banyak perdebatan karena sulit mengatakan emisi karbon yang sekian jumlahnya, karena apakah semua scientist dapat terima angka emisi karbon di gambut itu? Makanya, sekarang ini diambil angka tengah dari pengukuran karbon di gambut dengan mengambil batas atas dan batas paling rendah. “Harus diakui, emisi dari lahan gambut itu sangat sulit diukur,” kata Syamsidar dalam diskusi Ada Apa di Balik Kebakaran Hutan Riau pada Juli kemarin. 

Baca juga :   BPDPKS Tetapkan 13 Lembaga Pendidikan Penyelenggara Beasiswa Sawit 2023

Namun Syamsidar menegaskan hutan konservasi dan hutan lindung itu tidak boleh dipakai. Di luar itu, masih bisa dikelola bagi kegiatan lain.

Joko Supriyono, Sekretaris Jenderal  Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), mengungkapkan  regulasi yang diminta untuk direvisi tadi berpotensi menghambat laju pertumbuhan perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Menurutnya,  kebutuhan minyak nabati global yang terus meningkat sampai 234 juta ton pada 2020 . Disinilah peluang minyak sawit untuk mengisi kebutuhan dunia. 

Menurutnya,  minyak sawit telah memberikan kontribusi besar terhadap kinerja ekspor Indonesia. Dalam hal ini, ekspor minyak sawit merupakan faktor utama yang menopang surplus ekspor Indonesia dalam beberapa tahun terakhir

Di sektor hutan industri yang diwakili Nana Suparna,Ketua Bidang Produksi Hutan Tanaman Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) mendukung langkah serta inisiatif pakar yang mengusulkan revisi peraturan-peraturan tersebut. Sejauh ini, pembangunan hutan tanaman industri (HTI) mengikuti peraturan dengan tidak akan merusak lahan atau lingkungan hidup. Di sisi lain, sektor ini menciptakan manfaat tinggi  untuk pengembangan  perekonomian daerah dan nasional khususnya pembukaan  lapangan kerja bagi masyarakat. 

Nana Suparna menegaskan HTI sudah menjadi masa depan keberlangsungan  sektor kehutanan Indonesia. Peranannnya sangatlah penting guna mempertahankan keberadaan kawasan hutan produksi,  dan mencegah tumbuhnya produk substitusi kayu yang tidak ramah lingkungan. (Qayuum Amri)

kelapa sawit sawit
Share. WhatsApp Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Email Telegram

Related Posts

BPDPKS Tetapkan 13 Lembaga Pendidikan Penyelenggara Beasiswa Sawit 2023

9 hours ago Berita Terbaru

Austindo Nusantara Cetak Pendapatan Rp 4 triliun

16 hours ago Berita Terbaru

Petani Sawit Demo Kedubes Uni Eropa, Sampaikan 5 Tuntutan

2 days ago Berita Terbaru

Industri Hilir Sawit Minta Dukungan Pemerintah

3 days ago Berita Terbaru

BPDPKS Dukung Harga Acuan CPO

3 days ago Berita Terbaru

Petani Sawit Turun ke Jalan, Protes Kebijakan Uni Eropa

5 days ago Berita Terbaru

Anak Petani Sawit: KLHK Jangan Sewenang-Wenang dalam Urusan Kawasan Hutan

1 week ago Berita Terbaru

BPDPKS dan Majalah Sawit Indonesia Promosikan Sawit Sehat Kepada 145 UKMK Solo

1 week ago Berita Terbaru

CPOPC Bersama Perusahaan Indonesia Dan Malaysia Bantu Petani Sawit Honduras

1 week ago Berita Terbaru
Edisi Terbaru

Edisi 137 Majalah Sawit Indonesia

Edisi Terbaru 1 day ago2 Mins Read
Event

Promosi Sawit Sehat Dan Lomba Kreasi Makanan Sehat UKMK Serta Masyarakat

Event 1 week ago1 Min Read
Latest Post

CSR Membantu Pemberdayaan Petani Tanaman Pangan

4 mins ago

UMKM Sawit Fokus Meraih Peluang Bisnis di ASEAN

1 hour ago

Pemulia dan Pemuliaan Merupakan Kontribusi Signifikan Ketersediaan Pangan Nasional

2 hours ago

Pengelolaan Lahan Gambut ASEAN

3 hours ago

Produsen Alat Berat Tiongkok Resmikan Component Rebuilt Center di Balikpapan

4 hours ago
WhatsApp Telegram Facebook Instagram Twitter
© 2023 Development by Majalah Sawit Indonesia Development Tim.

Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.