Memasuki semester pertama 2023, Dr. Gulat ME Manurung, C.IMA, Ketua Umum DPP APKASINDO (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia) mengkhawatirkan capaian Peremajaan Sawit Rakyat yang masih rendah. Ada sejumlah persoalan yang harus dihadapi petani sawit untuk menyelesaikan tantangan PSR paling utama masalah tumpang tindih lahan dan klaim sawit dalam kawasan hutan. Berikut ini petikan wawancara tim redaksi sawitindonesia.com dengan Dr. Gulat Manurung di sela-sela kesibukannya:
Mentan sangat intens mendorong para pelaku usaha agar melakukan peremajaan serta hilirisasi sawit melalui program PSR, pengembangan SDM, dan sarana prasarana?. Bagaimana tanggapannya.
PSR adalah bukan hanya cita-cita petani sawit tetapi cita-cita dunia. Karena dengan PSR ini berjalan tiga dimensi keberlanjutan sawit (dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan) akan lebih cepat tercapai.
Melalui PSR, produktivitas CPO petani per tahun akan naik menjadi 6-7 ton CPO/ha/tahun, yang selama ini hanya 2,5-3 ton CPO/ha/tahun. Dengan PSR ini, hilirisasi TBS petani akan semakin menarik baik bagi petani sendiri untuk masuk ke hilirisasi (membuat PKS Petani) demikian juga minat investor untuk memanfaatkan keunggulan sawit rakyat.
PSR akan tercapai produktivitas TBS petani 2,5-3,5 ton TBS/ha/bulan, yang selama ini hanya 600-900 kg TBS/ha/bulan (aspek ekonomi). Dengan PSR kehidupan sosial kamtibmas masyarakat akan semakin berkualitas karena berputarnya roda ekonomi. Selain itu, program PSR ini membuat petani tidak perlu menambah luas jika ingin meningkatkan hasil panen.
Semuanya ini membutuhkan SDM petani yang handal dan bijak di setiap pengambilan keputusan usaha taninya.
PSR identik dengan Intensifikasi. Apakah peremajaan dan hilirisasi sawit tersebut menjadi pilihan yang tepat untuk mendorong kemajuan perkebunan sawit?
Tidak ada pilihan lain kecuali PSR jika petani ingin masuk ke sektor hulu sampai hilir sawit. Saat ini, biaya produksi (HPP=harga pokok produksi) cenderung naik dari tahun ke tahun dan harga CPO yang cenderung landai (kenaikan HPP 2x lebih cepat daripada kenaikan harga CPO Global) maka petani sawit harus bermain dengan strategi peningkatan produktivitas per satuan hektar per satuan waktu. Jika tidak dengan menaikkan produksi maka petani sawit akan berada dalam kehidupan pas-pasan karena kenaikan harga TBS tidak sebanding dengan kenaikan biaya produksi sehingga mengakibatkan daya beli petani akan semakin anjlok ke depannya. Tentu saja ini semakin menekan Nilai Tukar Petani (NTP) petani sawit dari tahun ke tahun.
Silih berganti Penghambat PSR. Apa saja tantangan dalam melakukan peremajaan dan juga hilirisasi sawit? Bagaimana perkembangan hilirisasi sawit saat ini?
Bukan rahasia lagi capaian PSR sejak 2017 sangat rendah. Secara akumulasi sampai Maret 2023 ini baru 280.620 hektare yang sudah terverifikasi dari target 540 ribu hektar. Ini berarti baru 51,9%, sedangkan tahun 2023 merupakan tahun terakhir tahap pertama PSR.
Dengan luas yang sudah terverifikasi tersebut akan membutuhkan dana sebesar 7,49 Triliun. Tentu ini jumlah uang yang jauh sangat kecil dibandingkan serapan dana oleh 4 tujuan lain didirikannya BPDPKS. Sebab, terdapat 5 tujuan berdirinya BPDPKS artinya serapan dan peruntukan PSR adalah yang terendah.
Belum lagi kalau kita pilah dari 280.620 ribu ha yang sudah terverifikasi atau terbit rekomteknya). Faktanya baru 202.053 hektar (72%) yang sudah tahap penanaman. Artinya terdapat 28% yang belum masuk tahap penanaman.
Lambatnya serapan PSR ini seharusnya menjadi catatan penting bagi Kementan. Catatan penting ini merupakan hambatan primer harusnya sudah diselesaikan di tahun awal mula PSR diluncurkan oleh Presiden. “Tapi mengapa sampai akhir tahun PSR tahap pertama tidak juga ditemukan resolusi hambatan primer (utama) PSR ini?”.
APKASINDO telah melakukan penelitian berkaitan penyebab rendahnya serapan PSR sejak 2017. Pertama, penyebab utamanya adalah kawasan hutan. Hal ini diketahui karena 84% PSR gagal usul karena kawasan hutan masuk ke perkebunan sawit rakyat yang mau PSR.
Jika di adu antara kawasan hutan dan tumpang tindih lahan petani dengan izin HGU atau HPH, ternyata juga kawasan hutan menjadi biang kerok sangat rendahnya serapan dana PSR ini.
Idealnya setelah lahirnya UUCK tahun 2020, permasalahan klaim kawasan hutan masuk wilayah perkebunan sawit rakyat ini sudah clear karena dalam UUCK dan turunannya tersebut ditegaskan bahwa lahan masyarakat yang luasnya 5 ha ke bawah, sudah dikuasai lebih dari 5 tahun dan pemilik lahan tersebut tinggal di sekitar lahan yang diklaim masuk kawasan hutan tersebut langsung di rubah tapal batas. Jadi, harusnya sudah clear (langsung dikeluarkan dari kawasan hutan tanpa denda dan beban biaya lainnya).
Pasal yang menjelaskan perihal ini sangat cocok dengan Program PSR karena PSR itu maksimum 4 ha/KTP dan umur sawit sudah diatas 20 tahun, harusnya tidak ada lagi alasan KLHK mengklaim lahan yang luasnya 5 ha ke bawah dalam kawasan hutan. Artinya adalah benar adanya kawasan hutanlah yang menyerobot masuk ke perkebunan sawit rakyat.
Demikian juga dengan Kementerian Pertanian sebagai kementerian teknis yang mengurusi PSR ini seharusnya berpijak kepada UUCK tadi secara tegas (mengejar target). “Masak selevel UU masih ada keraguan kita dan operator dari implementasi UU ini jelas di Kementerian Pertanian sebagai penerbit persyaratan PSR (permentan)” lanjut Gulat.
Tapi faktanya sampai 2023 tidak satu jengkalpun petani calon perserta PSR yang diklaim dalam kawasan hutan selamat dari “kartu merah” KLHK tersebut. Bahkan ada yang sudah sertifikat sejak tahun 1980-an (program transmigrasi) terjungkal juga dari usulan PSR karena klaim KLHK tadi.

Sangat aneh memang jika dilihat dari nama PSR ini dengan sebutan Program Strategis Nasional. Tetapi koordinasi lintas kementerian/lembaga sangat jelek sehingga petani sawit sangat dirugikan karena terpaksa tidak bisa ikut PSR.
Faktor kedua yaitu selalu berubah-ubahnya regulasi yang mengatur persyaratan PSR. Hal ini terbukti ketika Permentan tentang PSR diperketat awal tahun 2022. Akibatnya sangat fatal di mana beberapa provinsi sawit justru nol persen capaian PSR sehingga secara nasional capaian PSR tahun 2022 hanya 9%, dan ini merupakan capaian terjelek sepanjang sejarah. Karena hal ini asoisiasi petani meminta revisi dan tahun 2023 Permentan 03/2022 tersebut akhirnya diubah menjadi Permentan nomor 19/2023.
Faktor ketiga adalah tekanan psikologis dari pemeriksaan APH (Aparat Penegak Hukum) kepada petani peserta PSR dan pejabat negara yang mengurusi PSR ini (BPDPKS, Kementan). Tekanan psikologis ini sudah membuat petani sawit ciut nyali untuk mengajukan PSR.
Seharusnya APH jangan masuk dulu sebelum hasil audit BPK atau inspektorat atau auditor yang ditunjuk oleh BPDPKS/Kementan. Jika tidak ditemukan ada pelanggaran maka seharusnya APH tidak perlu masuk. Dan jika hanya temuan pelanggaran administrasi, cukup dibenahi dengan panduan Disbun setempat tidak perlu dibawa ke jalur hukum.
Pemeriksaan dana PSR jangan dibuat sama seperti pemeriksaan APBN karena sesungguhnya dana BPDPS tersebut adalah bukan berasal dari dana APBN, tetapi dari Pungutan ekspor (PE) CPO dan petani sawit adalah sangat terbeban karena PE tersebut, karena berkurangnya harga TBS petani sebesar Rp255/kg TBS jika PE sebesar ($85/MT CPO periode 15-31 Agustus 2023). Dimana diketahui bahwa PE ini “dipungut, dikelola dan disalurkan oleh BPDPKS”.
Haruskah seluruh persoalan tadi perlu dibereskan terlebih dahulu?
Seluruh persoalan tadi sebaiknya dibereskan terlebih dahulu khususnya klaim kawasan hutan dan tumpang-tindih tadi dan harusnya ini PR utama diawal-awal PSR ini diluncurkan. Artinya pemerintah harus menyelesaikan masalah primer kebun sawit rakyat. Solusinya menjadikan kebijakan PSR sebagai paket solusi (bukan persyaratan) yang didalamnya 6 layanan publik sekaligus untuk petani sawit, yakni: (1) teknologi varietas unggul dan rekomendasi GAP sawit dan tanaman sela, (2) layanan penyelesaian legalitas kebun sawit rakyat, (3) layanan pengembangan kelembagaan dan koperasi petani sawit rakyat, (4) layanan sarana prasarana termasuk hilirisasi, (5) layanan kemitraan, (6) layanan pembiayaan, dan (7) layanan sertifikasi ISPO. Paket solusi tersebut perlu diatur dalam Peraturan Presiden tersendiri.
Saya pertegas bahwa “legalitas kebun sawit rakyat harus menjadi layanan publik. Artinya legalitas kebun sawit rakyat jangan menjadi prasyarat untuk program pemerintah untuk petani sawit (seperti PSR, Sarpras, ISPO). Legalitas kebun sawit rakyat menjadi bagian dari layanan pemerintah baik untuk PSR, Sarpras, dan ISPO”.
Setelah ini beres baru kita pindah ke hilirisasi oleh petani sawit. Apabila jumlah produksi hanya 600-800 kg TBS sawit/ha/bulan dengan rendemen 18-20% seperti saat ini, dapat dipastikan petani sawit akan bangkrut ketika punya pabrik sawit sendiri.