Nusa Dua, SAWIT INDONESIA – Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia menguraikan sejumlah strategi dalam upaya memenuhi kebutuhan biofuel khususnya B50 serta B100. Saat ini, rendahnya yield minyak sawit dan tidak adanya ekspansi lahan baru berdampak kepada rata-rata pertumbuhan produksi sawit nasional. Mampukah sawit memenuhi kebutuhan domestik dan pasar ekspor dalam beberapa tahun mendatang?
Presentasi Dewan Pembina GAPKI, Joko Supriyono menjadi perhatian pengunjung IPOC (Indonesian Palm Oil Conference) di hari terakhir. Walaupun tetap ada pertumbuhan produksi sawit pada 2023 dan 2024, tetapi rerata produktivitas mengalami kelesuan dalam beberapa tahun terakhir.
Joko tetap optimis produksi sawit dapat memenuhi produksi sawit untuk kebutuhan domestik dan luar negeri.
“Kami optimistis produksi kelapa sawit nasional bisa bertahan di pasar global, baik memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun perdagangan ekspor,” kata Joko Supriyono.
Gapki memproyeksikan produksi sawit tahun ini naik sekitar 3,8 persen dan 2024 sekitar 4,9 persen.
Di sisi lain, industri sawit menghadapi stagnasi produktivitas akibat luasan tanaman belum menghasilkan yakni 1,5 juta hektare dan tanaman menghasilkan seluas 14,5 juta ha atau Lsebesar 91 persen, namun 46 persen di antaranya telah memasuki penurunan produktivitas karena penuaan.
Joko Supriyono menjelaskan meningkatnya produksi kelapa sawit ditopang adanya ekspansi lahan di awal tahun 2000-an, namun dalam perjalanannya di tahun 2020-2022 peningkatan volume tidak diiringi dengan peningkatan yield.
“Produksi tahun ini rata-rata 15 ton per hektare. Angka ini masih perlu digenjot supaya lebih maksimal,” ujarnya dalam kegiatan Indonesia Palm Oil Conference (IPOC) 2023 di Bali, Kamis (2/11/2023).
Dengan performa produktivitas seperti tadi, Joko Supriyono mengajukan pertanyaan bagaimana caranya Indonesia dapat menjamin kebutuhan bahan baku biodiesel untuk mencapai target B50 atau B100 yang ambisius?
Joko menguraikan Indonesia perlu berupaya meningkatkan produksi kelapa sawit menjaga swasembada pangan dalam negeri, untuk memenuhi biodiesel target B50/B100 yang ambisius dan untuk memenuhi permintaan global.
Karena itulah, Joko Supriyono mengajukan tiga usulan peningkatan produksi. Pertama, menyelesaikan persoalan kawasan hutan untuk memberikan kepastian lahan bagi pelaku usaha.
Kedua, mempercepat peremajaan Sawit baik perusahaan dan petani terutama Peremajaan Sawit Rakyat seluas 200 ribu ha per tahun.
Ketiga, Pemerintah diminta mengevaluasi kembali kebijakan moratorium sawit. Caranya mendorong perusahaan perkebunan negara untuk melakukan ekspansi perluasan kebun di lahan marginal dalam upaya peningkatan produksi sawit sebagai penopang bahan baku target biodiesel.