Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) meminta PT Borneo Surya Mining Jaya, anak usaha First Resources Ltd untuk menghentikan kegiatan pengembangan lahannya. Tetapi, emiten asal Singapura ini bersikukuh tetap melanjutkan pengembangan kebun sawitnya. Apa yang terjadi?
19 Desember 2012, Bambang Dwilaksono, Head of Sustainability First Resources Ltd terpaku membaca surat di emailnya dari Darrel Webber yang menjabat Sekretaris Jenderal Roundtable of Sustainable Palm Oil (RSPO). Hampir 5 menit lamanya, surat tersebut dibaca berulang-ulang dan dipelajari. Yang sangat mengagetkan, ada permintaan supaya PT Borneo Surya Mining Jaya (BSMJ), anak perusahaan First Resources Ltd, segera menghentikan kegiatan operasional di lahan seluas 11.210 hektare.
Bambang Dwilaksono menjelaskan surat yang diterimanya bersifat instruksi dari petinggi RSPO, untuk menyelesaikan tuduhan yang dialamatkan kepada First Resources Ltd. Anak usaha dari emiten yang berbasis di Singapura ini dituduh telah melakukan sejumlah pelanggaran seperti penyerobotan lahan masyarakat adat dan pembukaan kebun tanpa AMDAL. Rencananya, setelah moratorium pembangunan lahan dijalankan perusahaan, barulah tim auditor independen masuk ke lapangan untuk memverifikasi laporan Environmental Investigation Agency (EIA), non-anggota RSPO.
“Kami ini perusahaan legal yang mematuhi peraturan di Indonesia. Kok, harus disetop pembangunan lahannya,” keluh Bambang.
Menurut Bambang, moratorium yang diinginkan RSPO sangat membingungkan karena surat diawal sempat disebutkan moratorium untuk a piece of land, setelah itu di surat berikutnya menjadi all development work. Itu sebabnya, dikatakan Bambang, keputusan RSPO itu memakai logika terbalik yang semestinya melihat dulu kondisi riil di lapangan, mewawancarai pemangku kepentingan setempat. Setelah itu, barulah mereka ambil keputusan.
Ihwal sikap tegas yang diambil RSPO berasal dari keluhan (complaint) yang dikirim EIA, lembaga investigator kejahatan lingkungan, yang dikirim secara resmi ke First Resources Ltd dan RSPO pada 18 Oktober 2012. Laporan ini merupakan kerja investigasi EIA yang menyebutkan PTBorneo Surya Mining Jaya telah menyerobot hutan dan tanah milik komunitas lokal di Muara Tae, Kutai Barat, Kalimantan Timur.
Dalam laporannya, EIA menilai pembukaan areal perkebunan kelapa sawit tidak sesuai prinsip dan kriteria nomor 7 RSPO karena sebelum membuka lahan atau New Planting Program (NPP) tidak ada penilaian HCV dan sosial ekonomi di wilayah tersebut. Disebutkan pula, perusahaan tidak mengimplementasikan Keputusan Bebas, Didahulukan, dan Diinformasikan (Free, Prior, Inform, and Consent) sebelum pembukaan lahan di Muara Tae berlangsung.
Seluruh keluhan inilah yang menjadi pijakan bagi RSPO dalam menegur First Resources Ltd, yang selanjutnya ditindaklanjuti dengan mekanisme complaint di lembaga ini. Bambang Dwilaksono mengungkapkan laporan dari EIA ini sebenarnya telah melewati masa komentar masyarakat (public comment) sebelum dilakukan pembukan lahan atau New Planting Program (NPP) PT BSMJ. Karena, proses public comment sudah berlangsung dari 18 September-17 Oktober 2012. “Sementara laporan dari EIA itu masuk 18 Oktober atau terlambat sehari. Kendati demikian, kami berupaya merespon secara proporsional,” kata Bambang Dwilaksono kepada SAWIT INDONESIA menjelang akhir Desember 2012.
Dalam jawaban RSPO kepada SAWIT INDONESIA yang disampaikan Desi Kusumadewi, Direktur RSPO Indonesia via email. Forum Panel Keluhan RSPO telah bertindak berdasarkan dugaan pelanggaran First Resources merujuk kepada laporan EIA yang masuk ke dalam mekanisme proses sistem keluhan. PT BSMJ memang diperintahkan supaya menghentikan seluruh pengembangan dan kegiatan di lahan perkebunan sebagaimana laporan EIA, sampai seluruh persyaratan yang diajukan RSPO telah dilengkapi. Selain itu, akan ditunjuk pula lembaga auditor yang bertugas memverifikasi masalah di lapangan, dimana biaya audit ditanggung First Resources sepenuhnya.
Menurut Bambang Dwi Laksono, perusahaan mengambil sikap terbuka dalam penyelesaian Muara Tae, lewat undangan kepada RSPO dan EIA supaya datang langsung ke kebun. Lalu, mengadakan interview langsung dengan penduduk setempat dan pemerintah daerah. Namun, ajakan ini tidak berbuah manis lantaran kedua belah pihak tidak merespon sampai akhir tahun kemarin.
First Resources Ltd sebagai induk PT BSMJ keberatan dengan laporan EIA, karena secara legal perusahaan sudah memperoleh izin lokasi lewat studi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang telah disetujui. Persetujuan AMDAL ini tertuang dalam SK AMDAL 660.5/009/AMDAL/BLH-KBR/VI 2010 tanggal 25 Juni 2010. Bambang Dwi Laksono menambahkan perusahaan juga sudah mendapatkan izin usaha perkebunan sebelum dilakukan pembukaan lahan.
Fakta lainnya, perusahaan sudah mengikuti proses notifikasi NPP yang mempersyaratkan HCV dan SEIA assement. Dalam dokumen tertanggal 19 September 2012 disebutkan penilaian HCV telah diverifikasi oleh Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor pada Mei 2012, dimana total areal HCV seluas 379,21 hektare. Selanjutnya, proses notifikasi ini diaudit pula oleh TUV Nord yang menyatakan laporan AMDAL,HCV, dan SEIA sebagai bagian dari manajemen dan kerangka PT BSMJ. Setelah mengantongi audit NPP, barulah dilakukan proses komentar dari publik terhadap notifikasi ini.
Kasus Muara Tae
Masalah yang terjadi di Kampung Muara Tae, Kutai Barat, Kalimantan Timur, berawal dari konflik tata batas kampung yang terjadi antara warga Desa Muara Ponaq dan Desa Muara Tae. Hal ini akibat dari keluarnya SK Bupati bernomor SK Nomor 146.3/K.525/2012 yang dikeluarkan akhir Mei 2012. SK itu tentang Penetapan dan Penegasan Batas Wilayah antara Kampung Muara Ponaq dan Kampung Muara Tae.
Akibat surat keputusan inilah yang menyebabkan warga kedua desa berselisih atas batas lahan. Seperti dikutip dari Kompas.com¸ Toni Imang, Kepala Bagian Humas Pemerintah Kabupaten Kutai Barat, mengatakan berdasarkan tapal batas wilayah pemerintah sesuai SK Bupati Kutai Barat, area yang diklaim sebagai milik sebagian warga Muara Tae itu tak masuk wilayah Muara Tae, tetapi wilayah Kampung Ponaq.
Dampak SK Bupati tersebut, warga di Muara Tae, Kecamatan Jempang, Kutai Barat, terlibat konflik dengan PT Munte Waniq Jaya Perkasa dan PT Borneo Surya Mining Jaya. Kedua perusahaan sawit itu dianggap warga menyerobot lahan adat Muara Tae yang total luasnya sekitar 1.000 hektare. Warga sudah beberapa kali mencoba menghentikan aktivitas perusahaan sawit tersebut. ”Tanah yang dijual oleh oknum warga desa sebelah itu adalah milik kami,” ujar Masrani, Kepala Kampung Muara Tae kepada Kompas.com.
Bambang Dwi Laksono mengatakan ketidakpuasan terhadap SK Bupati tadi sebaiknya tidak dilimpahkan kepada pihak perusahaan. Pertimbangannya, perusahaan telah memberikan ganti rugi kepada warga Muara Ponaq bukan kepada Muara Tae, yang berdasarkan peta sesuai SK Bupati tadi kalaupun di kemudian hari ada yang mengklaim tanah tersebut miliknya tidak bisa menjadi tanggung jawab perusahaan. “Kalau ada posisi saling klaim sebenarnya akan membingungkan perusahaan,” kata Bambang.
Yang mengherankan adalah kenapa laporan EIA hanya ditujukan kepada PT Borneo Surya Mining Jaya, padahal masyarakat juga berkonflik dengan dengan PT Munte Waniq Jaya Perkasa dan beberapa perusahaan sawit lain. Telapak, LSM lingkungan, sempat melaporkan PT Munte Waniq Jaya Perkasa ini menyerobot areal hutan adat milik suku Dayak Banuaq seluas 683 hektare di Kutai Barat, Kalimantan Timur. Berdasarkan data Telapak, kepemilikan saham sebanyak 90% saham PT Munte Waniq Jaya Perkasa dikuasai Tian Siang Holding (TSH) Grup dari Malaysia.
Mathias Ginting, Manajer Lapangan PT MWJP, menyebutkan lahan seluas 683 hektare yang dibeli perusahaan dari warga Muara Ponaq sudah sesuai ketentuan. Perusahaan tidak pernah menyosialisasikan pemakaian lahan kepada warga Muara Tae karena lokasinya berada di Kecamatan Siluq Ngurai bukan di Jempang. ”Buat apa kami sosialisasi ke sana (Muara Tae) kalau itu bukan hutan adat mereka. Kalau hutan adat tidak mungkin dijadikan kebun oleh warga,” ucap Mathias seperti dikutip dari Kompas.com.
Dampak Moratorium
Upaya mematuhi keputusan RSPO telah diambil PT Borneo Surya Mining Jaya dengan memoratorium lahan seluas 400 hektare. Bambang Dwilaksono mengatakan penghentian sementara ini akan berlangsung selama enam bulan, karena areal tadi diidentifikasi sebagai areal yang diserobot. Pasca enam bulan, perusahaan akan melanjutkan kembali kegiatan perawatan lahan termasuk penanaman kacang-kacangan (LCC).
Ditambahkan Bambang, kalau RSPO bersikeras moratorium seluruh lahan PT BSMJ semestinya RSPO harus berani bertanggungjawab kepada masyarakat dan pemerintah daerah. Sebab, perusahaan enggan memberikan penjelasan kepada masyarakat di 5 kampung yang berpenduduk 2.000 jiwa. Apalagi perusahaan berkomitmen membangun kebun sawit plasma kepada penduduk setempat. “Jika memang berhenti seluruh kegiatan, RSPO harus berani datang ke masyarakat dan pemerintah daerah untuk menginformasikan alasan moratorium tadi,”papar Bambang.
Sadino, Direktur Eksekutif Natural Resources Law & Business Institute, mengatakan jika memang ada dampak lebih luas dari keputusan moratorium yang dikeluarkan RSPO, sebaiknya hal ini dibuktikan perusahaan. Supaya, RSPO mempertimbangkan kemungkinan permasalahan lebih luas jika kebun berhenti operasi. (Qayuum Amri)