Program biodiesel 20% atau B20 harus ditingkatkan untuk menekan impor solar. Mampu menghema devisa negara sampai Rp 28,4 triliun pada 2018.
Senyum sumringah terlihat dari wajah Rida Mulyana, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM RI saat pemaparan Capaian Kinerja Subsektor EBTKE akhir tahun 2018 dan Outlook Subsektor EBTKE 2019 pada awal Januari 2019.
“Produksi biodiesel 2018 mencapai 6 juta kiloliter (kl), yang dapat melampaui target pemerintah sebesar 5,7 juta kl,” kata Rida sambil tersenyum.
Data Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan realisasi serapan biodiesel pada 2018 mencapai 6 juta kiloliter (KL). Capaian ini melampaui target yang dipatok pemerintah 5,7 juta kiloliter.
Dari realisasi 6 juta Kl, penggunaan biodiesel di dalam negeri mencapai 4,02 juta Kl. Yang membuat Rida Mulyana bangga yaitu konsumsi biodiesel mampu menghemat devisa negara sebesar Rp 28,4 triliun. “Dengan pemakaian 4,02 juta KL biodiesel di dalam negeri, dan mampu tekan pengeluaran sampai Rp 28,4 triliun. Itu besar sekali,” ujar Rida.
Pada 2019, Kementerian ESDM memproyeksikan jumlah produksi bahan bakar nabati (BBN) alias biodiesel tahun ini sebesar 7,37 juta kiloliter (KL).
Bahkan, saat ini dengan tanaman kelapa sawit yang dikelola secara berkelanjutan mampu memproduksi jutaan ton yang dikonsumsi dalam negeri dan untuk ekspor. Menurut Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), keberhasilan Indonesia sebagai produsen minyak sawit berkelanjutan terbesar minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) di dunia dengan produksi sebanyak 42 juta ton di tahun lalu.
Salah satu kunci sukses biodiesel adalah dukungan dana pungutan sawit yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS). Melalui BPDP-KS strategi pembangunan minyak sawit nasional dilakukan supaya mendorong adanya penambahan nilai dari CPO yang dihasilkan Indonesia.
Direktur Utama BPDP-KS, Dono Boestami mengutarakan keberhasilan minyak sawit sebagai minyak nabati terbesar dunia merupakan bagian dari keberhasilan pembangunan nasional. Melalui pengembangan minyak sawit maka Indonesia dapat turut memerangi kemiskinan di Indonesia.
“Ekonomi yang dihasilkan dari pengembangan minyak sawit, mulai dari perkebunan kelapa sawit hingga produk hilirnya telah memberikan banyak keuntungan bagi masyarakat di Indonesia,” ujar Dono.
Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Joko Supriyono menyampaikan keberadaan minyak sawit terus memberikan kontribusi besar bagi negara dan masyarakat. Salah satunya melalui pengembangan industri turunan minyak sawit sebagai bioenergi yang juga menguntungkan secara lingkungan.
Pengembangan bioenergi seperti green diesel, green gasoline, dan green avtur yang sedang diujicoba diproyeksi menambah konsumsi CPO domestik sampai 50% pada 2025. Hingga tahun 2018, pemakaian CPO dalam negeri sebesar 30%. Alhasil, ekspor sawit Indonesia ke pasar global menurun menjadi 50% di 2025.
Kendati turunnya pangsa pasar ekspor dapat mempengaruhi penurunan devisa. Joko Supriyono yakin melalui program bioenergi membuat industri sawit nasional mampu kendalikan stok dan mengontrol harga CPO global. Aspek positiF lainnya dapat menekan impor minyak mentah sehingga berdampak bagus bagi devisa.
“Minyak sawit harus terus dikembangkan supaya memberikan banyak keuntungan bagi pendapatan negara, sosial masyarakat dan lingkungan yang baik,” kata Joko saat menjadi pembicara dalam Diskusi Sawit, di Jakarta, pada pekan lalu.