JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) meminta peta digital kehutanan Greenpeace Indonesia tidak melenceng dengan data resmi pemerintah.
“Sepanjang sumber data dari LHK dan dipetakan sama persis dengan sumber tak masalah,” kata San Afri Awang, Direktur Jenderal (Dirjen) Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan ketika dihubungi Sawit Indonesia di Jakarta, Kamis (17/3).
Ketika ditanya soal LHK apakah pernah melihat aplikasi ini, San Afri justru mengaku telah menggunakan ide sejenis jauh sebelum dikeluarkan Greenpeace.
“Kementrian Kehutanan sejak 2010 sudah menerapkan peta seperti greepeace itu,” kata lelaki kelahiran Talang Padang, Lampung ini.
Selain memakai peta digital, LHK telah memberdayakan mayarakat untuk terlibat dalam pencegahan kebakaran hutan. Upaya pencegahan tersebut juga dibarengi dengan pengembangan ekonomi di tanah air.
“Kementrian LHK mengembangkan konsep pencegahan muncul dengan memberdayakan masyarakat desa, perangkat desa, patroli rutin dan mengembangkan ekonomi,” tuturnya.
Teguh Surya, Juru Kampanye Hutan Greenpeace mengungkapkan data yang diperoleh Greenpeace dalam menyusun peta ini didapat dari beragam instansi misalnya untuk peta konsesi perkebunan sawit didapatkan dari pemerintah Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup yang dilengkapi dan diperbarui oleh Greenpeace dengan data yang diperoleh dari Pemerintah Daerah, dan juga RSPO.
Tungkot Sipayung, Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Institute (PASPI) mengungkapkan bahwa peta konsesi yang dipublikasikan Greenpeace melanggar UU no 4 tahun 2011 tentang informasi geospasial. Hak mengeluarkan peta geospasial termasuk peta konsesi adalah wewenang pemerintah.
Greenpeace Indonesia meluncurkan peta interaktif “Kepo Hutan” yang memungkinakn publik memantau kebakaran lahan. Adapun konten aplikasi tersebut berisi informasi lengkap izin perusahaan dan bagaimana kaitan lahan gambut, titik api dan peringatan deforentasi. Hal ini diperlukan sebagai upaya melindungi dan memulihkan kawasan hutan Indonesia yang sedang terancam dan rusak. (Ferrika Lukmana)