Bagian III
Sejak tahun 2000-an, persaingan antar minyak nabati telah memicu perang dagang antar minyak mabati di pasar dunia. Pesatnya perkembangan minyak sawit (CPO) di bandingkan dengan ketiga jenis minyak nabati lainnya di pengaruhi oleh fenomena global excess demand, dimana laju konsumsi lebih besar dari laju produksi minyak nabati dunia, sehingga permintaan meningkat dan harga pun meningkat. CPO menjadi pilihan yang paling utama, karena pasar global, yang dicerminkan oleh peningkatan CPO di sejumlah negara-negara pengimpor berdampak pada perkembangan yang semakin pesat di sektor hulu, khususnya on fram, baik oleh swasta dan pemerintah dan terutama perkembangan yang revolusioner pada perkebunan rakyat di Indonesia.
Perang minyak nabati pertama dalam sejarah persawitan di Indonesia adalah minyak sawit (CPO) dengan minyak kedelai (soybean oil/SBO). Dalam dekade 1980-an, negara Amerika Serikat dan Uni Eropa merupakan negara tujuan utama ekspor CPO Malaysia. Pada saat itu, negara Mlaysia merupakan negara produsen dan eskportir terbesar CPO dunia. Pangsa impor minyak sawit Amerika Serikat mencapai 20 persen dalam kurun waktu 1980-1986 (USDA, 1987). Minyak sawit adalah komoditas substitusi untuk minyak kedelai untuk memenuhi konsumsi CPO di Amerika Serikat.
Sumber : GAPKI