PETERNAKAN DAN KETERSEDIAAN DAGING
Pembangunan peternakan merupakan bagian dari pembangunan pertanian dalam arti luas. Dengan adanya reorientasi kebijakan pembangunan sebagaimana tertuang dalam program RPPK (Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan) maka pembangunan pertanian perlu melakukan pendekatan yang menyeluruh dan integratif dengan sub sektor yang lain dalam naungan sektor pertanian. Hal ini semakin penting untuk dilakukan apabila dikaitkan dengan program swasembada daging tahun 2010.
Program swasembada daging ini merupakan respon adanya fakta bahwa kebutuhan konsumsi daging meningkat yang ditandai dengan kecenderungan impor daging dan sapi hidup yang jumlahnya terus meningkat pada dasawarsa terakhir, dimana pada tahun 2002 nilai impor daging (termasuk produk olahannya) dan sapi hidup mencapai US$106.003.410,00 sedangkan populasi sapi potong secara nasional dari tahun 1994 – 2002 mengalami penurunan sebesar 3,1 persen per tahun (BPS, 2003 dan Anonim, 2005). Menurut data Ditjennak (2004) disitasi Anonim (2005), populasi sapi potong tahun 2000 – 2004 berturut-turut adalah 11.008.017, 11.137.701, 11.297.625, 10.504.128, 10.726.347 ekor. Sementara itu, impor daging dan sapi hidup telah menganggu sistem pasar lokal sebagaimana yang telah terjadi pada peternak sapi di Jawa Barat yang mengeluhkan akan adanya daging sapi impor karena telah menurunkan penjualannya hingga 50% (Kompas, 06 Mei 2005).
Saat ini usaha peternakan untuk menghasilkan sapi bakalan (cow calf operation) dalam negeri 99 persen dilakukan oleh peternakan rakyat yang sebagian besarnya berskala kecil dengan tingkat kepemilikan 1 – 5 ekor per KK. Usaha ini biasanya terintegrasi dengan kegiatan lainnya, sehingga fungsi sapi sangat kompleks (Anonim, 2005). Oleh karenanya pembuatan kebijakan dalam pembangunan peternakan tidaklah terlepas dari kondisi objektif bahwa mayoritas masyarakat Indonesia tidak memilah-milah secara jelas antara peternakan dan pertanian umumnya. Hal ini dikarenakan sistem usahatani yang masih bersifat subsisten yang banyak oleh petani gurem.
Banyaknya peternakan rakyat yang berperan dalam menghasilkan sapi bakalan ini mendorong perlunya pengembangan peternakan berbasis kerakyatan. Hal yang menjadi permasalahan adalah bahwa kepemilikan ternak yang relatif kecil tersebut secara ekonomis kurang menguntungkan sementara petani tidak secara khusus melakukan kegiatan usaha peternakan. Ini, tentu saja, memerlukan upaya bagaimana meningkatkan usaha peternakan dengan tetap terintegrasi dengan sistem usahatani yang tengah dilangsungkannya.
RUMAH TANGGA PETANI
Berdasarkan Sensus Pertanian tahun 2003 (BPS, 2004) terdapat 52,6 juta Rumah Tangga (RT) dimana terdapat 25,6 juta RT pertanian. Jumlah RT pertanian ini secara absolut meningkat dari 20,8 juta pada tahun 1993 dengan rata-rata pertumbuhan sekitar 2,10% pertahun. Namun demikian secara persentase terdapat penurunan yaitu dari sebesar 50,45% RT pertanian terhadap total RT pada tahun 1993 menjadi 48,66% pada tahun 2003. Akan tetapi, dari 25,6 juta RT pertanian terdapat 24,4 juta RT pengguna lahan dan ini menunjukkan peningkatan sebesar 1,7% dari tahun 1993. RT pengguna lahan masih didominasi pengguna lahan untuk kegiatan pertanian padi/palawija, yaitu sebanyak 18,1 juta RT. Selanjutnya diikuti oleh pengguna lahan untuk kegiatan pertanian hortikultura sebanyak 9,3 juta, perkebunan 7,7 juta, budidaya tanaman kehutanan 3,7 juta, peternakan 6,5 juta, kolam air tawar/sawah 0,8 juta dan tambak/air payau sebanyak 0,15 juta RT.
Masih menurut BPS (2004) bahwa tahun 2003 terdapat 13,7 juta petani gurem yang juga meningkat 2,4% pertahun sejak 1993, dimana terdapat 52,1% pada tahun 1993 menjadi 56,2% tahun 2003.. Petani gurem ini kebanyakan terdapat di Pulau Jawa, yaitu terdapat 25,14% petani gurem terdapat di Jawa Timur, 22,98 di Jawa Tengah, 18,84% di Jawa Barat, dan 3,15% di Provinsi Banten. Sementara di daerah-daerah lain jumlah petani guremnya relatif kecil, yaitu kurang dari 3 % dari total petani gurem se-Indonesia, kecuali Sumatera Utara, yaitu 4,1%. Meningkatkanya petani gurem di pulau Jawa diduga karena adanya sistem pewarisan tanah yang berbagi dan konversi lahanproduktif menjadi areal non pertanian.
Berdasarkan uraian data di atas menunjukkan bahwa sektor pertanian masih menjadi bidang pekerjaan utama masyarakat Indonesia. Dari sebanyak 52,6 juta RT hanya 6,5 juta yang menyelenggarakan kegiatan utama peternakan. Kecilnya aktivitas RT utama bidang peternakan ini bukan berarti pada jenis usaha pertanian lain tidak terdapat usaha peternakan, justru bisanya ternak yang dipelihara terintegrasi dengan sistem usahatani lainnya. Hal ini mendorong untuk dilakukannya terobosan baru untuk meningkatkan aktivitas yang melibatkan peternakan sebagai usaha keluarga dan masyarakat serta swasta ataupun pemerintah dalam sistem yang terintegratif sehingga secara kumulatif dapat meningkatkan total pendapatan usahatani keseluruhan dengan tanpa lahan baru.
PENGGUNAAN LAHAN DAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
Secara umum, penggunaan lahan untuk semua jenis lahan mengalami peningkatan sejak tahun 1995 sampai 1998. Bukan hanya pemanfaatan lahan untuk bangunan – sebagai konskuensi pertambahan populasi dan aktivitas pembangunan – yang meningkat, pemanfaatan lahan untuk perkebunan, penggembalaan dan lahan yang sementara tidak diusahaan juga mengalami peningkatan (Tabel 1 Luas penggunaan lahan di Indonesia).