Dengan jaminan bahan baku yang melimpah, peluang Indonesia sebagai pusat industri hilir kelapa sawit dunia sangatlah terbuka lebar. Sampai 2014, total kapasitas terpasang industri hilir dapat mendekati angka 40 juta ton. Masih sedikit pemain baru yang hadir.
Dalam percakapan dengan SAWIT INDONESIA, Benny Wahyudi, Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian, merasa senang dengan pertumbuhan industri hilir kelapa sawit sekarang ini, yang telah berkembang pesat sebagaimana rencana pengembangan industri turunan sawit yang dibuat pemerintah. Sampai tahun ini, produk turunan kelapa sawit yang berhasil dikembangkan sekitar 90 produk, misalkan saja produk kosmetik, minyak makan, biofuel, farmasi, produk personal care, margarin, dan shortening.
“Indonesia mempunyai peluang menjadi produsen terbesar produk hilir kelapa sawit di dunia,” ujar Benny Wahyudi.
Menurutnya, kekuatan yang dimiliki industri hilir sawit di dalam negeri berupa jaminan bahan baku dari minyak sawit (CPO). Dari minyak nabati lain, produktivitas CPO lebih tinggi mencapai 4 ton-5 ton per hektare. Sedangkan, minyak kedelai dan rapeseed tidak lebih dari satu ton per hektare. Adanya jaminan bahan baku inilah yang mendorong investor dari luar negeri seperti Unilever membangun refineri oleokimia di Sei Mangkei,Sumatera Utara.
Dalam Buku Ekonomi Agribisnis Minyak Sawit (2012), Tungkot Sipayung membagi agribisnis hilir minyak sawit ke dalam tiga kelompok utama yaitu (1) industri oleokimia adalah industri mengolah CPO dan PKO menjadi produk turunan (produk antara), (2) industri oleopangan (food oleo/oleo edible) merupakan industri memakai oleokimia menjadi produk pangan seperti minyak goreng, vanaspati, shortening, dan margarin, (3) industri oleo non-pangan (oleo non-food/oleo non-edible) yakni industri menggunakan produk oleokimia menjadi produk bukan pangan.
Dijelaskan Tungkot, proses industrialisasi yang tergolong cepat dalam agribisnis minyak sawit adalah pendalaman ke hilir. Pada 1970-an, pendalaman industri ke hilir masih terbatas pada industri minyak goreng, detergen, dan oleokimia. Tetapi semenjak 1990-an, proses pendalaman industri ke hilir makin cepat yang dicirikan makin banyaknya ratusan produk yang dihasilkan dari agribisnis minyak sawit.
Hendra Gondawidjaja, General Manager Permata Hijau Grup, menyatakan perkembangan industri hilir sawit tetap akan tumbuh karena potensi produk turunan sawit dapat mencapai 300 jenis. Contohnya saja, produk sawit dapat dikembangkan menjadi bahan baku peledak dan sorbitol.
Dalam beberapa tahun mendatang, diperkirakan produk turunan sawit akan lebih banyak lagi yang berasal dari limbah padat dan cair.
Sahat Sinaga, Direktur Eksekutif GIMNI, menjelaskan produk bernilai tambah tinggi masih berpotensi dihasilkan dari sawit seperti bioplastik, biolubrikan, bahan bakar jet, particle board, extracting betacarotene, briket carbon, dan mineral oil surfactant.
Merujuk kepada data Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), total kapasitas terpasang industri hilir kelapa sawit (rafinasi, fraksionasi, oleokimi, dan bioenergi) akan mencapai 38,6 juta ton pada 2014. Jumlah ini meningkat 28,7% dari kapasitas terpasang tahun 2013 berjumlah 30 juta ton. Menurut Sahat Sinaga, beberapa pemain lama industri hilir kelapa sawit berencana meningkatkan kapasitas terpasangnya dan mengembangkan produk hilir baru seperti Wilmar, Musim Mas Grup, dan Permata Hijau.
Di sektor oleokimia, Asosiasi Produsen Olekimia Indonesia memproyeksikan lima perusahaan akan menanamkan investasi baru pada tahun ini. Dengan total nilai investasi mencapai US$ 1 miliar pada 2013, dibandingkan tahun sebelumnya berjumlah sekitar US$ 500 juta.
Togar Sitanggang, Ketua Asosiasi Produsen Oleokimia Indonesia, optimistis Indonesia dapat menjadi pemain nomor satu industri oleokimia dunia. Tetapi, dukungan pemerintah sangatlah dibutuhkan khususnya dalam pemberian insentif pajak ekspor.
Berdasarkan riset data yang dilakukan Majalah SAWIT INDONESIA, ada sembilan kelompok perusahaan sawit yang terintegrasi antara hulu dan hilir antar lain Grup Indofood Grup ( PT Salim Ivomas Pratama Tbk dan PT London Sumatera Indonesia Tbk), Sinarmas Grup (PT Smart Tbk), Sungai Budi Grup (PT Tunas Baru Lampung Tbk), Wilmar Grup, Permata Hijau Grup, Musim Mas Grup, Asian Agri, Best Agro Grup, dan Incasi Raya Grup.
Belum termasuk Minamas Plantation, anak usaha Sime Darby Malaysia, yang sedang menyelesaikan refinerinya di Kalimantan Selatan. Selain itu, KL Kepong termasuk perusahaan kelapa sawit Malaysia, yang berminat mendirikan refineri oleokimia di Indonesia.
DOMINASI PEMAIN LAMA
Ditemui setelah panitia kerja sawit di Dewan Perwakilan Rakyat, Erik Satrya Wardhana, anggota Komisi VI, mengkritik industri hilir kelapa sawit yang kurang terbuka kepada pemain baru sehingga daya serap minyak sawit di dalam negeri kurang optimal. Sebegitu banyaknya produk turunan sawit semestinya makin banyak investor baru yang datang.
“Dengan semakin banyaknya pemain baru, perilaku oligopoli akan dapat diminimalisir. Kondisi sekarang yang terjadi, reinventasi dari pemain lama. Tidak ada investasi dari perusahaan baru,” keluh Erik Satrya yang berasal dari Partai Hati Nurani Rakyat ini.
Dia mengkritik kebijakan bea keluar CPO yang sekarang berlaku tanpa disertai dukungan terhadap kebijakan hilir sawit. Kurang ditatanya industri hilir sawit mengakibatkan petani menjadi korbannya. “Petani perlu juga diberikan akses ke sektor hilir. Kalau sekarang ini, BK CPO memangkas harga jual TBS di tingkat petani,” kata Erik.
Namun, pendapat tersebut ditepis oleh Beny Wahyudi. Menurutnya, roadmap industri hilir sawit telah berjalan bagus karena jumlah ekspor produk turunan CPO telah sesuai target di atas 60%, dibandingkan minyak sawit mentah (CPO). Saat ini, beberapa pemain baru di sektor hilir telah muncul seperti Unilever dan Grup Lautan Luas.
Sepanjang 2012-2014, Gabungan Industri Minyak Nabati mencatat investasi sudah sebesar US$ 2,1 miliar terutama di bidang packing line, rafinasi, dan fraksionasi serta oleokimia. Sebagai contoh, Unilever lewat anak perusahaannya PT Unilever Oleochemical Indonesia berencana investasi sebesar Rp 1,45 triliun untuk pembangunan refineri oleokimia.
Sancoyo Antarikso, Komisaris PT Unilever Oleochemical Indonesia, mengatakan dana tersebut digunakan untuk pembelian lahan dan bangun pabrik. Nantinya, refineri dibangun di atas lahan seluas 18 hektare. Kapasitas refineri mencapai 200 ribu ton per tahun yang menghasilkan varian produk seperti surfaktan, soap noodles, dan fatty acid.
“Hasil produksi refineri sebesar 80% ditujukan kepada beberapa negara yang menjadi pangsa pasar Unilever antara lain Asia, Eropa, dan Amerika Latin. Sisanya, dijual kepada pasar domestik,” ujar Sancoyo seperti dikutip dari situs bisnis.com.
Sementara itu, anak usaha Grup Lautan Luas yaitu PT Lautan Natural Krimerindo, telah memproduksi non-dairy creamer berbasis sawit. Benny Wahyudi mengatakan kapasitas pabrik yang berlokasi di Mojokerto ini sebesar 40 ribu ton per tahun. Nilai investasi mencapai US$ 20 juta-US$ 30 juta dengan pangsa pasar domestik dan ekspor.
Benny menyatakan semakin hilir industri sawit menjadi tantangan bagi pelakunya dalam mengembangkan pasar. Tetapi nilai produknya semakin bernilai tinggi.
Sahat Sinaga memaparkan tidak mudah bagi perusahaan perkebunan sawit untuk mengembangkan bisnis produk turunan sawit. Kalau pemain hulu tetap “nekat”, mereka akan menghadapi kendala yaitu tidak memiliki jaringan pemasaran dan belum menguasai teknologi. Karakteristik pembeli produk hilir seperti olein dan oleokimia, yang sangat selektif mesti dipertimbangkan pemain baru.
Pasalnya kata Sahat Sinaga, pemain hilir sawit baru akan kesulitan diterima pasar apabila merek belum dikenal dan kontinuitas produksi tidak terjamin. Pembeli produk hilir sawit itu memilih atas dasar garansi suplai dan kualitas. “Jika suplai oke tetapi kualitas jelek, dapat dipastikan pemain baru akan merugi,” jelas Sahat.
Selain itu, pemain hilir dituntut paham dengan permintaan khusus dari pembeli (tailor made) yang nantinya akan digunakan untuk bahan baku produk mereka. Kalau tidak punya teknologinya dikhawatirkan pembeli enggan memilih produk hilirnya.
KEBIJAKAN FISKAL DAN PELABUHAN
Supaya produk hilir berkembang pesat, menurut Sahat Sinaga, dukungan pemerintah dari aspek fiskal sangatlah dibutuhkan. Kebijakan skema Bea Keluar (BK) CPO yang berlaku sekarang dinilai sudah tepat. Pajak ekspor yang bersifat progresif ini lahir dari Peraturan Menteri Keuangan No. 128 /PMK 011/2011 yang sekarang telah diperkuat dengan PMK NO.75/2012. “Dengan keluarnya BK CPO ini, pelaku refineri dan fraksionasi mengoptimalkan kapasitas produksinya yang telah berjalan. Lalu berupaya meningkatkan nilai investasinya kembali,” ujar Sahat dalam kunjungan ke industri hilir sawit pada pertengahan Mei kemarin.
Sahat Sinaga menegaskan penerapan BK CPO sangatlah membantu kalangan pelaku industri hilir kelapa sawit yang terbebani masalah infrastruktur. Buruknya infrastruktur seperti pelabuhan menjadi beban ekspor akibat fasilitas kurang memadai dan masa antri kapal (demurrage) yang sering terjadi di pelabuhan. Sehingga, biaya ekspor Indonesia lebih mahal berkisar US$ 15 – US$ 25 per ton cargo.
Dua hal yang perlu diperhatikan untuk menjadi produsen utama hilir sawit adalah cost effectiveness dan teknologi. Menurut Sahat Sinaga, efektivitas biaya berkaitan dengan segala macam biaya dan logistik haruslah efisien. Sebagai contoh, peningkatan volume ekspor produk hilir sawit memerlukan tambahan pelabuhan dan modernisasi pelabuhan “ocean going” yang ada karena diversifikasi/ragam produk sawit semakin banyak. Sehingga, kualitas produk yang masuk ke kapal harus dijaga kemurniannya.
“Jangan sampai seperti yang terjadi di pelabuhan Belawan sekarang ini waktu tunggu kapal naik dari 12 hari menjadi 14 hari,” kata Sahat.
Kebutuhan pelabuhan ekspor sangatlah beralasan karena 60% dari total produksi produk hilir sawit ditujukan ke luar negeri. Pelabuhan juga dibutuhkan untuk mendukung kelancaran pasokan bahan baku CPO antar pulau. Untuk melayani kegiatan ekspor, Indonesia baru memiliki dua pelabuhan khusus yaitu Dumai dan Belawan. Tetapi, ketidaksiapan infrastruktur di pelabuhan tersebut menyebabkan timbulnya banyak keluhan mulai dari lamanya demurrage dan keterbatasan SDM.
Tanmin, General Manager Wilmar Unit Dumai, mengatakan idealnya pelabuhan ekspor itu melayani 24 jam dan tidak kenal libur. Idealnya, kata Tanmin, kapal datang kapanpun semestinya dilayani, karena akan menjadi masalah kalau ada kapal datang jam tiga pagi tetapi belum ada pegawai pelabuhan yang dapat memandunya. Kondisi seperti ini membuat beberapa perusahaan besar kelapa sawit memilih untuk membangun pelabuhan sendiri. Seperti dilakukan Grup Wilmar yang membangun Kawasan Industri Dumai beserta pelabuhannya dengan nilai investasi mencapai Rp 7 triliun.
“Pembangunan kawasan industri diarahkan untuk skala internasional. Contohnya saja, fasilitas jetty kami telah bersertifikat International Ship and Port Facility Security (ISPS) yang dapat melayani kapal dari luar negeri,” kata Tanmin.
Aprilia Dwison, Deputi PT Pelindo I Cabang Pelabuhan Dumai, mengatakan upaya perbaikan pelayanan telah dilakukan pihaknya karena menjadi tempat bersandar kapal dari dalam dan luar negeri. Saat ini, Pelabuhan Dumai telah menjadi hub port bagi kapal-kapal dari wilayah Indonesia Timur untuk kegiatan ekspor. Pada 2012, jumlah ekspor CPO dari Pelabuhan Dumai telah mencapai 5,2 juta ton yang komposisinya 80% curah cair dan sisanya 20% merupakan curah kering.
Kebijakan konkrit memperbaiki pelayanan telah dilakukan dari 2010 sampai 2012. PT Pelindo I mengalokasikan dana lebih dari Rp600 miliar untuk membangun sarana dan infrastruktur di Pelabuhan Dumai. Pembangunan ini meliputi terminal curah cair di Dermaga B, perpanjangan Dermaga B yang mencapai satu kilometer, dan pembangunan terminal curah kering. Di pembangunan terminal curah kering termasuk pula pembuatan dua unit gudang pada 2010, alat bongkar muat, pembangkit listrik, conveyor sistem, dan bagging sistem.
Menurut Aprilia, akan ditambah lagi satu unit gudang untuk melengkapi terminal curah kering yang sudah ada. Harapannya dengan pembangunan ini, waktu sandar kapal selama 3-4 hari yang didukung kapasitas bongkar muat 350 ton per jam. Sebelumnya, kapal dapat bersandar 12-14 hari akibat kapasitas bongkar muat sebatas 80 ton-100 ton per jam.
PERKUAT RISET
Tak hanya infrastruktur, Sahat Sinaga menyarankan perlunya ada pembentukan wadah Research Institute Palm Oil yang terpusat. Jadi dibangun sebuah lembaga yang memiliki penguasaan teknologi by design dan bukan accident.
Endang Gumbira Said, Guru Besar Insitut Pertanian Bogor, sepakat perlu adanya “center of excellence” produk hilir untuk pengembangan industri hilir sawit. Masalahnya, tanpa lembaga tersebut bisa jadi industri hilir berjalan di tempat. Indikasinya dapat terlihat dari ketergantungan pemain hilir sawit terhadap impor lisensi teknologi, inovasi formulasi produk, dan mesin impor.
Ke depan, menurut Sahat, sinergi kuat antara industri hulu dan hilir kelapa sawit dalam negeri sangatlah dibutuhkan guna memperkuat posisi Indonesia sebagai pusat industri sawit di mata dunia. Caranya, sektor hulu memperbaiki kualitas CPO yang dihasilkan melalui memperkuat kualitas hasil panen dan standar budidaya terbaik serta scientific. Dengan begitu pelaku hilir sawit akan mendapatkan produk minyak sawit mentah berkualitas terbaik untuk diolah. (Qayuum Amri)