Untuk menjadi negara maju, pemerintah Indonesia tidak perlu mengikuti negara lain untuk menghasilkan industri yang kuat di sektor industri dan elektronika. Penguatan industri kelapa sawit nasional semestinya didorong pemerintah supaya negara ini mempunyak karakteristik industri tertentu. Sayangnya, belum ada visi pemerintah yang menuju penguatan industri kelapa sawit.
Padahal, industri sawit di dalam negeri berpeluang membuat Indonesia sebagai produsen besar untuk biofuel dan pelumas. Tim Redaksi SAWIT INDONESIA berkesempatan berdiskusi dengan Tungkot Sipayung, Komisaris PTPN IV, di kantornya yang terletak di daerah Melawai, Jakarta Selatan. Dalam perbincangan ini, lulusan Institut Pertanian Bogor menyatakan kegelisahannya terhadap arah perkembangan industri sawit di masa depan. Berikut ini, hasil diskusi yang berlangsung lebih dari satu jam:
Pasca Moratorium, bagaimana perkembangan industri sawit di masa mendatang?
Sebenarnya moratorium jilid II ini tidak ada perubahan dari Inpres Moratorium yang sebelumnya. Jadi pelaku usaha di sektor perkebunan sawit setuju hutan lindung dan hutan konservasi harus dimoratorium secara permanen, bukan hanya dua tahun sebagaimana diatur dalam Undang-undang Kehutanan. Namun hutan di luar itu, Areal Penggunaan Lain (APL) harus direhabilitasi atau direstorasi caranya melalui reboisasi. Penanaman Hutan Tanaman Industri (HTI) atau dengan tanaman perkebunan seperti karet, sawit dan kakao, akan bersifat jangka panjang. Dapat dikatakan, perkebunan merupakan bagian dari kegiatan restorasi.
Kebijakan moratorium jilid II tidak menghambat perkembangan industri sawit sepanjang Kementerian Kehutanan mau membuka diri untuk memberikan alternatif restorasi tidak hanya dengan HTI, tapi juga dengan sawit. Tanaman sawit dan karet lebih baik karena usia tanaman bisa mencapai 25 tahun. Sedangkan HTI, usia tanaman hanya 6 sampai 7 tahun sudah ditebang. Jadi fungsi ekologisnya tanaman sawit dan karet lebih panjang.
Sebenarnya, mengapa pelaku sawit merasa keberatan dengan kebijakan moratorium?
Sekarang ini, pelaku sawit tidak melulu memikirkan perluasan areal sawit dan perusahaan sawit mulai meningkatkan produktivitasnya. Dengan program 35/26 melalui peningkatan produktivitas tandan buah segar 35 ton per hektare per tahun dan rendemen mencapai 26 persen. Dengan target produktivitas CPO sebesar 8 – 9 ton per hektare. Sebenarnya, pelaku sawit merasa keberatan dengan moratorium yang seakan-akan menuding perkebunan sawit sebagai perusak lingkungan padahal kenyataannya belum tentu seperti itu.
Dengan suplai bahan baku melimpah, sejauh mana peluang Indonesia untuk memperkuat industri hilir?
Dengan posisi Indonesia yang menjadi produsen CPO terbesar di dunia sebenarnya akan lebih baik apabila Indonesia menjadi raja biofuel, surfaktan dan pelumas. Saat ini, BUMN perkebunan atau PTPN sudah mengarah kepada pengembangan produk turunan CPO.
Boleh saja, perkembangan otomotif Jepang berjalan pesat tetapi kebutuhan ban dan pelumas dipasok dari Indonesia. Peluang ini semestinya menjadi visi dari pemerintah saat ini karena belum ada yang mengarah kesana. Pengembangan industri sawit tidak perlu dihambat karena apa lagi yang bisa dibanggakan di dunia internasional.
Upaya mendorong program hilirisasi sawit dengan pembatasan ekspor CPO lewat pajak ekspor menunjukkan fakta tidak berhasil. Strategi ini sudah ditempuh dari tahun 1970-an dan hingga kini belum menampakkan hasilnya. Ini berarti, kebijakan bea keluar tidak cukup untuk mendorong hilirisasi sawit dengan cepat.
Masalah fundamental yang dihadapi industri hilir sawit jauh lebih besar. Pertama, suku bunga di Indonesia baik BI rate paling tinggi dari negara lain seperti Malaysia. Tingkat suku bunga masih di atas 10% sedangkan negara seperti Malaysia, China dan India hanya 6%. Harus disadari pelaku usaha memerlukan modal dalam membangun industri. Kedua, perbaikan infrastruktur sudah menjadi kewajiban. Kalau saja pemerintah cepat membereskan kedua hambatan ini maka pertumbuhan indutri hilir sawit akan lebih cepat.
Mengapa sawit belum menjadi komoditas strategis?
Kita belum yakin dan kurang percaya diri terhadap apa yang dimiliki. Para teknokrat Indonesia masih berpikir dengan paradigma lama dari ilmu-ilmu ekonomi barat, bahwa indikator kemajuan negara dapat terlihat dari pertumbuhan industri otomotif dan elektronika. Makanya, Indonesia tidak perlu mengikuti Eropa dan Jepang tetapi dapat membuat jalur baru supaya menjadi komplementer bagi indutrialisasi yang sudah berkembang lebih dulu.
Indonesia dapat menjadi negara besar dengan produksi biofuel dan pelumas. MP3EI di Sumatera menjadi basis pengembangan industri perkebunan yang harus didorong dengan menurunkan suku bunga tinggi dan penghapusan pajak ekspor.
Tekanan terhadap industri sawit sedemikian besar. Tetapi, kita tidak melihat dukungan dari pemerintah untuk sawit. Langkah apa yang harus diambil?
Di luar negeri, masih banyak tudingan negatif terhadap sawit melalui lembaga swadaya masyarakat (NGO). Tapi, harus diingat ini merupakan persaingan bisnis. Parahnya lagi pemerintah tidak melakukan pembelaan apapun yang idealnya tuduhan itu dijawab karena ada fakta dan data yang bisa dipertangunggjawabkan dengan benar. Indonesia dituduh negara pengemisi terbesar di dunia, itu salah karena ada fakta tuduhan itu tidak valid. Jika tekanan tersebut terus terjadi, lama-lama dapat berpengaruh kepada ekspor sawit. Lucunya, Australia sekarang sudah menjadi pengekspor bibit sawit melalui kultur jaringan dan pengusaha Eropa sudah mengembangkan sawit di Afrika.
Mungkin pemerintah belum sadar akan potensi sawit?
Data sudah membuktikan keunggulan kita adalah sawit yang berkontribusi kepada pendapatan negara. Nilai ekspor minyak sawit mencapai US$ 25 miliar per tahun. Ini belum termasuk dari pengembangan industri hilir sawit yang memberika pemasukan kepada negara sekitar US$ 40 miliar per tahun. Tetapi yang sekarang ini terjadi pemerintah tidak mendukung sama sekali industri sawit. Kendati, kelapa sawit merupakan sektor komoditas yang bia membuat Indonesia sebagai negara hebat di dunia. Walaupun, Uni Eropa dan Amerika Serikat tidak suka pertumbuhan pesat kelapa sawit Indonesia.
Apa strateginya agar industri sawit bisa berdaya saing dengan negara lain?
Dari segi sumber daya alam, tidak ada yang dapat menandingi Indonesia soal kesuburan lahan, sinar matahari, dan produktivitas tinggi. Karena negara maju tidak mampu bersaing dengan Indonesia yang terjadi dibuat ongkos produksi sawit lebih tinggi supaya selisih harga dengan minyak nabati lain tak jauh berbeda . Caranya membuat peraturan dan sertifikasi supaya biaya produksi menjadi mahal. Kalau kita terlambat, akan terulang kejadian dahulu dimana komoditas seperti cengkeh dan rempah-rempah menjadi sunset industry. Produk hilir sawit tidak hanya dipasarkan di dalam negeri melainkan ditujukan kepada pasar ekspor. Perlu juga dibuat kegiatan promosi kepada negara tujuan. Namun, kita masih kalah dengan Malaysia yang mengembangkan industri hilir sawit di luar negeri seperti di India, Eropa dan Cina.
Dari tahun ke tahun, apakah kampanye negatif sawit mempunyai pola sama?
Ada perbedaan pada 1980-an asosiasi minyak kedelai AS pernah mengajukan kepada anggota kongres di negaranya supaya menyetujui bahwa minyak tropikal tidak sehat karena mengandung kolestrol tinggi. Tetapi dari Malaysia, Filipina dan Indonesia mengajukan protes ke AS akhirnya usulan dari asosiasi kedelai tidak ditanggapi.
Tahun 1994, muncul lagi tudingan bahwa elemen yang membuat kolesterol atau asam lemak di minyak sawit sehingga berakibat kepada penyakit radiopaskuler. Indonesia dan Malaysia melalui PORIM daapt menjawab tuduhan tersebut.
Setelah tahun 2000, dikaitkan dengan lingkungan terkait isu perubahan iklim dunia. Bahkan sekarang perkebunan sawit dikaitkan dengan perubahan iklim padahal itu tidak benar karena tanaman bagian dari ekosistem. Di dalam tumbuhan, terdapat fotosintesis yang masuk siklus karbon, oksigen dan air. Jadi semua tanaman yang menghasilkan minyak nabati untuk menyerap karbon apabila ingin selamatkan lingkungan harus lebih efektif. Tanaman sawit lebih banyak menyerap karbondioksida dari udara. EPA menyebutkan dengan adanya analisis lifecyle kedelai lebih unggul dari sawit. Di Amerika Serikat, produksi kedelai menggunakan mekanisasi otomatis menggunakan bahan bakar dan dari situ sudah tidak benar datanya karena mengeluarkan emisi lebih besar. Kelapa sawit mengurangi emisi karena limbah sawit dapat digunakan untuk bahan bakar dan pupuk. Sebenarnya,kelapa sawit dapat mengurangi emisi sampai 40%.
Sudah cukupkah kegiatan penelitian yang terdapat di industri sawit ini ?
Lembaga penelitian yang telah ada sekarang ini seperti Masyarakat Perkelapasawitan Indonesia (MAKSI), Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS), Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, serta Kementerian Riset dan Teknologi. Memang, kontribusi mereka terhadap penelitian belum cukup signifikan untuk industri sawit. Sebaiknya, perlu dibuat semacam koordinator penelitian sawit yang bisa saja dibawah Kementerian Riset dan Teknologi untuk menaungi lembaga tersebut. Tujuannya, hasil riset ini dapat dipakai semua kalangan industri sawit.
Selain sibuk di PTPN IV, apa lagi aktivitas bapak ?
Saya juga mempunyai aktivitas sebagai pengajar dan meneliti. Pengalaman kerja saya pernah menjadi Komisaris PT Petrokimia Gresik. Bagi saya, dunia sawit bukanlah hal asing karena telah banyak penelitian yang dikerjakan semenjak 1999. Selain itu, saya juga menjadi anggota MAKSI. (bebe)