Tidak diterimanya CPO menjadi produk yang dikategorikan ramah lingkungan Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC), membuat gerah kalangan pelaku industri hilir sawit. Pemerintah diminta mundur dari forum kerjasama ekonomi ini.
Jumat, 26 Juli 2013, tiga asosiasi industri hilir kelapa sawit berkumpul bersama media massa untuk mendiskusikan gencarnya tekanan terhadap produk kelapa sawit sekarang ini. Hal ini disampaikan oleh Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Asosiasi Pengusaha Oleokimia Indonesia (APOLIN), dan Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI).
Sahat Sinaga, Direktur Eksekutif GIMNI, mengeluhkan isu negatif sawit yang sering diwacanakan negara barat seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa. Melalui kampanye negatif tersebut mengakibatkan produk kelapa sawit Indonesia menjadi sulit bersaing, bahkan tidak laku di pasar dunia.
Kampanye negatif ini, kata Sahat Sinaga, memang sengaja dilakukan negara barat yang bertujuan memproteksi produk pertaniannya di pasar dunia. Apalagi, CPO lebih kompetitif dari segi harga karena murah dan produktivitasnya lebih efisien.
“Itu sebabnya, industri kelapa sawit Indonesia berpotensi besar untuk memenuhi sebagian besar kebutuhan dunia,” ujar Sahat Sinaga.
Sebagai contohnya Uni Eropa (UE) memberlakukan tarif antidumping kepada produk biodiesel yang berasal dari Iindonesia. Kendati produsen dapat mengajukan banding tetapi kalau sudah ditetapkan kena tarif maka bea masuk akan berlaku selama enam bulan, untuk selanjutnya dapat diperpanjang sampai lima tahun.
Sahat menilai kebijakan anti dumping ini menunjukkan negara Uni Eropa memang tidak menginginkan negara berkembang untuk dapat lebih maju. Sebab, Uni Eropa berpandangan komoditas unggulan dari negara berkembang seperti kelapa sawit yang dinilai kompetitor dari negara maju.
Paulus Tjakrawan, Sekjen APROBI, mengutarakan akan lebih bagi Indonesia keluar dari keanggotaan APEC sebab terdapat produk ekspor andalan Indonesia seperti sawit dan karet tidak dimasukkan ke dalam kategori green product.
Ditambahkan Paulus, Uni Eropa memang sengaja mengkampanyekan isu negatif kepada minyak sawit Indonesia. Pola yang mereka lakukan juga sistematis yang ini berakibat buruk kepada perdagangan biodiesel Indonesia ke Uni Eropa. Itu sebabnya, penjualan ekspor biodiesel tahun ini diperkirakan akan dibawah1,5 juta ton, dari tahun sebelumnya.
Togar Sitanggang, Ketua APOLIN, menjelaskan tidak hanya masalah di luar negeri saja tetapi dihadapi pelaku hilir sawit, namun muncul juga hambatan dari dalam negeri misalkan masalah pasokan gas. Kalangan produsen oleokimia di Medan dalam beberapa minggu lalu menghadapi masalah berkurangnya suplai gas.Mesti diketahui, masalah gas ini telah terjadi di Belawan selama bertahun-tahun, sayangnya belum dapat diselesaikan hingga sekarang. Oleh karena itu, produsen oleokimia mencari alternatif untuk mengatasi kekurangan pasokan gas alam, caranya memakai LPG supaya refineri tetap beroperasi.
Produsen olekimia juga menyayangkan rencana pemberlakuan bea keluar kepada beberapa produk oleokimia. Togar Sitanggang mengatakan sejumlah produk oleokimia akan dimasukkan ke dalam produk yang dikenakan bea keluar, tetapi karakteristik produk oleokimia ini berberbeda dengan produk refineri biasa. (Qayuum)