Ekspor CPO tahun ini diperkirakan turun akibat lesunya permintaan dari negara pembeli utama seperti Cina dan Uni Eropa. Imbasnya, proyeksi ekspor CPO yang diperkirakan 21 juta ton pada tahun ini, sulit tercapai.
Krisis ekonomi yang terjadi di Amerika Serikat dan Uni Eropa yang terjadi dari akhir tahun lalu belum juga mereda sampai tahun tahun ini. Efek dominonya terasa kepada negara Asia seperti India dan Cina yang memiliki hubungan perdagangan ke dua kawasan tadi. Berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), penjualan CPO dan produk turunannya sampai kuartal pertama penjualan CPO menunjukkan grafik naik turun untuk kedua negara tadi. Khusus Cina, regulasi ketat yang diterapkan Negara Tirai Bambu kian menyulitkan produk turunan CPO seperti RBD Olein untuk masuk.
Sebenarnya, optimisme mulai membuncah di kalangan eksportir kelapa sawit melihat volume ekspor CPO tembus 2,05 juta ton pada Januari 2013. Namun di bulan-bulan berikutnya, ekspektasi tadi sirna karena penjualan CPO dan produk turunan Indonesia tidak pernah menyamai kinerja ekspor bulan Januari.
Dalam keterangan di rilis, Fadhil Hasan, Direktur Eksekutif GAPKI, menyebutkan ekspor CPO dan turunannya terus mengalami penurunan sampai April ini mencapai 1,49 juta ton dibandingkan tiga bulan sebelumnya dari Januari yang berjumlah 2,05 juta ton. Lalu, bulan Februari sebanyak 1,92 juta ton dan Maret berjumlah 1,7 juta ton. Sampai Juni, ekspor CPO menyentuh level 1,6 juta ton.
Terjadinya penurunan volume ekspor CPO dan turunan asal Indonesia ini dipengaruhi banyak faktor. Fadhil Hasan mengatakan faktor utama yang mengakibatkan lesunya penjualan adalah permintaan pasar dunia yang lemah sebagai akibat krisis ekonomi Eropa dan belum pulihnya pertumbuhan ekonomi AS. Kondisi ini mengakibatkan perlambatan ekonomi China dan Pakistan.
Kalangan pengamat ekonomi di Cina telah memperingatkan suramnya perdagangan ekspor mereka ke Uni Eropa dan Amerika Serikat. Data lembaga Bea Cukai Cina memperlihatkan ekspor turun 3,1% dari ekspektasi sebesar 4%. Seperti dikutip dari Reuters, Zheng Yuesheng, Juru Bicara Bea Cukai, mengatakan tantangan kuat akan dihadapi perdagangan ekspor Cina pada kuartal ketiga nanti. Faktanya telah terlihat di bulan Juni kemarin, perdagangan ekspor Cina ke Amerika Serikat turun 5,4% dan perdagangan ke Uni Eropa melorot 8,3%.
Volume ekspor CPO dan turunannya dari Indonesia ke China tercatat turun 6% menjadi 164,5 ribu ton di April daripada bulan Maret sebesar 174,4 ribu ton. Kendati sempat naik di bulan Mei sebesar 14,14% menjadi 187,72 ribu ton. Tetapi, ekspor dibulan Juni memperlihatkan Cina mengurangi pembelian CPO dari Indonesia sebesar 9% menjadi 170,57 ribu ton.
“Penurunan permintaan dari China masih disebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi dan turunnya persediaan CPO di sana,” kata Fadhil.
Kondisi sama dialami India yang permintaanya terbilang naik turun. Meskipun demikian, India tetap menjadi pasar utama ekspor Indonesia. Pada Januari, ekspor CPO Indonesia ke India mencapai 778,92 ribu ton yang selanjutnya turun 16% menjadi 652,78 ribu ton. Di bulan Maret, penjualan CPO Indonesia ke India anjlok menjadi 416 ribu ton.
Penurunan volume ekspor ini diakibatkan pula kebijakan India yang menetapkan pajak impor CPO dan refined oil. BV Mehta, Direktur Eksekutif Solvent Extractor India, mengatakan setelah India menetapkan pajak impor minyak sawit mentah atau CPO sebesar 2,5% dan refined oil 7,5%. Akibatnya, selisih bea masuk tidak lagi sebesar sebelumnya $70 per ton menjadi $10 per ton. Pengapalan CPO ke India selama tujuh bulan kemarin hingga Mei sudah sebanyak 6,2 juta ton.
“Kebutuhan minyak nabati di India tiap tahun naik 5% atau ada penambahan 800 ribu ton. Maka, perlu impor untuk menutupi peningkatan ini,” ujar BV Mehta seperti dikutip dari Bloomberg.
Beruntung, angka ekspor ke India beranjak naik menjadi 546 ribu ton pada April. Jumlah ini terus meningkat 8,17% atau bertambah menjadi 590,52 ribu ton. Sayangnya, pengaruh ekonomi dunia yang masih tidak stabil berdampak kepada pembelian India yang kembali turun drastis 31,5% menjadi 404,52 ribu ton.
Kalangan eksportir menilai pembelian produk palm oil dari Cina dan India tidak mengalami perubahan dari tahun sebelumnya. Joelianto, trader PT Sinar Mas Agro and Resources Technology Tbk, mengakui efek dari dari kebijakan tarif impor hanya India yang mengalami sedikit perubahan dan efeknya adalah proporsional persentase import Olein dan CPO menjadi berubah , sedangkan kuantitas tidak banyak berubah .
Dari perhitungan Majalah SAWIT INDONESIA yang merujuk kepada data GAPKI, sampai semester pertama ini total ekspor CPO dan produk turunannya telah mencapai 10,6 juta ton . Angka ini lebih menggembirakan daripada jumlah ekspor periode sama tahun sebelumnya yang sebesar 8,54 juta ton.
“Sebenarnya kalau dilihat semester pertama , ekspor kita jauh diatas kapasitas produksi yang ada, dan ini mengakibatkan end stock kita turun ke level yang relatif rendah,” kata Joelianto.
Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) mengkalkulasi produksi CPO hingga semester pertama tahun ini sudah mencapai 14,7 juta ton. Jumlah ini lebih tinggi dari produksi CPO tahun kemarin berjumlah 11,7 juta ton.
Hambatan terbesar yang dapat menghadang laju ekspor CPO Indonesia adalah isu minyak sawit yang tidak ramah lingkungan khususnya di Uni Eropa. Industri biodiesel sudah merasakan dampaknya melalui rencana penetapan tarif anti dumping yang diberlakukan Uni Eropa kepada empat produsen biodiesel Indonesia. Mereka adalah PT Pelita Agung Industri, Musim Mas Grup, PT Wilmar Nabati Indonesia dan PT Wilmar Bioenergi.
Sahat Sinaga, Direktur Eksekutif GIMNI, secara kinerja ekspor CPO dan produk turunannya tahun ini akan dibawah target dari tahun lalu. Ekspor CPO tahun ini yang ditargetkan 21 juta ton kemungkinan hanya tercapai 94% atau sekitar 20 juta ton.
Di industri turunan misalkan biodiesel, Paulus Tjakrawan, Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI) mengakui penjualan biodiesel keluar negeri sulit menyamai tahun lalu yang sebesar 1,5 juta ton. Indikatornya, pengapalan biodiesel Eropa dari Januari ke April baru 150 ribu ton.Buruknya ekspor biodiesel disebabkan rencana Uni Eropa yang akan menerapkan kebijakan anti dumping. Upaya perlawanan dilakukan empat perusahaan lewat proses banding kepada Komisi Uni Eropa sebelum jatuh tempo pada September.
“Selama banding produsen masih boleh jual kesana. Masalahnya pihak Eropa yang mengerem pembelian,” kata Paulus kepada SAWIT INDONESIA.
Sahat Sinaga mengharapkan ditengah pelemahan ekspor CPO ke India dan Cina maka kerjasama Preferential Trade Agreement (PTA) Indonesia-Pakistan dapat dioptimalkan. Namun begitu, diskriminasi pemerintah terhadap jeruk kino asal Pakistan berakibat mandegnya kesepakatan ini. Kalau saja Pakistan dapat ditembus, eksportir akan memperoleh akses ke negara tetangganya yang dikenal Tan Brothers. Sehingga, dapat menjadi pasar alternatif untuk menopang perdagangan CPO. (Qayuum Amri)