JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Produsen dan petani sawit Indonesia mengkritik usulan sejumlah senator di Prancis yang mengusulkan pajak impor progresif produk CPO. Kebijakan ini dinilai diskriminatif karena hanya ditujukan kepada produk sawit dan turunannya.
“Memang volume ekspor CPO Indonesia ke Prancis terbilang kecil. Yang jadi masalah bukan besar kecilnya. Tetapi, pajak impor ini bersifat diskriminatif,” kata Bayu Krisnamurthi, Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Sawit, di Kantor Menko Kemaritiman, Jakarta, pada Selasa (2/2).
Wacana pajak progresif muncul dalam pembahasan RUU Keanekaragaman Hayati di badan parlemen Prancis. Usulan tersebut disampaika empat senator beraliran ekologis yaitu Aline Archimbaud, André Gattolin, Marie-Christine Blandin, Ronan Dantec dan Joël Labbé. Dalam RUU Keanekaragaman Hayati ada klausul yang mengatur pemberlakukan pajak progresif produk sawit bagi pangan dan non pangan.
Eksportir yang memasukkan produk sawit ke Prancis saat ini masih membayar pajak sebesar 103 euro per ton.
Dalam klausul pajak progresif sawit dibuat mekanisme kenaikan nilai pajak secara bertahap dari tahun 2017 sampai 2020. Arif Havas Oegroseno, Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim Kemenko Maritim dan Sumberdaya, menjelaskan nilai pajak akan naik secara progresif setiap tahun. Pada 2017, diusulkan sebesar 300 euro per ton, lalu naik menjadi 500 euro per ton pada 2018, 700 euro per ton pada 2019 dan 900 euro per ton pada 2020.
“Jelas hal tersebut menciptakan beban dan preseden buruk bagi ekspor sawit Indonesia ke Eropa,” ungkapnya kepada SAWIT INDONESIA.
Empat senator Prancis tadi beralasan pajak yang dipungut ini menjadi sumber pendanaan Social Security Fund. Arief Havas menjelaskan sangat disayangkan apabila hasil pajak disalurkan menjadi dana jaminan sosial kepada Perancis.
“Ini artinya petani sawit kita menyubsidi dana jaminan sosial masyarakat Perancis,” jelasnya.
Derom Bangun, Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia, mengatakan pemungutan pajak impor sawit di Prancis berpotensi mengurangi daya saing produk sawit terhadap minyak nabati lain seperti minyak kedelai, minyak bunga matahari, dan minyak kanola. Dampak lebih jauh lagi, produk makanan yang berbasis CPO akan lebih mahal dibandingkan sebelumnya.
“Kami harapkan pemerintah dalam hal ini Kementerian Perdagangan bisa melakukan pendekatan kepada pemerintah Prancis,” pinta Derom.
Jika tidak ada halangan, RUU Keanekaragaman Hayati nantinya diputuskan pada sidang parlemen pada 15 Maret 2016. Jika pajak progresif benar diterapkan, pemerintah telah mengambil ancang-ancang untuk mengajukan protes.
“Pemerintah Indonesia akan membuka kemungkinan untuk melaporkan hal tersebut kepada WTO,” ungkap Arief Havas.
Sumber foto: aitec.reseau-ipam.org