JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla menorehkan catatan hitam di masa pemerintahannya. Kebijakan moratorium yang tadinya berlaku untuk pembukaan izin baru ternyata diperluas sampai kepada perkebunan sawit yang telah dibangun. Moratorium ala Jokowi tidak ada bedanya dengan kebijakan diskriminatif negara lain yang menghambat perdagangan sawit.
Achmad Manggabarani, Direktur Forum Pengembangan Perkebunan Strategis dan Berkelanjutan, merasa heran dengan kebijakan pemerintah yang menghentikan kegiatan penanaman sawit. Apalagi, penanaman sawit yang telah mengantongi ijin.
“Tidaklah tepat bagi pemerintah apabila melarang penanaman sawit karena itu membatasi hak berusaha di Indonesia,” ujar Mangga Barani yang pernah menjabat Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian.
Sebelum terbit moratorium ijin, pemerintahan Joko Widodo mengeluarkan regulasi moratorium lahan gambut yang telah berjalan semenjak 2015. Aturan ini ditetapkan dalam Instruksi Presiden Nomor 8/2015 yang menggantikan beleid sebelumnya Instruksi Presiden Nomor 6/2013, regulasi warisan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
“Jadi, pelarangan itu untuk pembatasan budidaya sawit di lahan gambut. Juga, tidak boleh membuka kebun di hutan primer dan hutan konservasi,” kata Mangga Barani.
Tungkot Sipayung, Doktor Lulusan Institut Pertanian Bogor, merasa heran alasan pemerintah yang ingin memoratorium sawit. Pasalnya, kelapa sawit dikatakan industri strategis. “Tapi kenapa harus dimoratorium. Jelas ini kontradiktif,” ujar Tungkot.
Ditambahkan Tungkot, adanya labelisasi “moratorium sawit”. Kalau pemerintah ingin menjalankan moratorium seharusnya untuk seluruh kegiatan yang berkaitan alih fungsi hutan. “Akhirnya ini menjadi sangat tendensius sekali karena ada label sawit,” ungkap Tungkot.
Dalam jumpa pers di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, San Afri Awang, Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK, sekitar 950 ribu hektare lahan perkebunan akan diambil alih pemerintah. Ada sekitar 60 perusahaan dalam proses melengkapi perizinan dan pihak kementerian tidak akan memberikan izin.
Achmad Mangga Barani mengatakan seharusnya pemerintah lebih fokus kepada pengawasan dan evaluasi keberhasilan pada kawasan-kawasan yang telah di moratorium dan memetakan kawasan-kawasan mana saja yang bisa dipergunakan untuk kegiatan budidaya. “Tidak bijaksana jika pemerintah melarang sawit yang saat ini adalah komoditas unggulan,” ujarnya.
Menurut Manggarani, selama ini, perkebunan sawit mentaati keinginan pemerintah untuk melakukan penanaman secara berkelanjutan serta meningkatkan intensifikasi melalui penanaman bibit unggulan dan peremajaan (replanting).
Sebenarnya, menurut Mangga Barani, perluasan lahan tetap menjadi keharusan agar karena permintaan CPO kedepan masih besar.Kita tidak boleh menutup mata hanya untuk kepentingan ego sektoral.
Enny Sri Hartati, Direktur INDEF, berpendapat penerapan kebijakan moratorium ini bisa menimbulkan kekhawatiran pelaku perkebunan sawit yang sudah masuk dan sedang merencanakan investasi. “Tapi kalau belum apa-apa sudah dibatasi pelaku yang ingin masuk ke hulu maka bisa kontraproduktif,” jelasnya.
Direktur Kajian Strategis dan Kebijakan Pertanian (Dit. KSKP) Institut Pertanian Bogor (IPB) KSKP IPB Dr Dodik Ridho Nurrochmat, mengatakan, keputusan untuk melakukan moratorium perkebunan kelapa sawit harus mengacu kepada beberapa aspek seperti sosial, ekonomi dan poisi Indonesia. (Qayuum)
Salah satu caranya adalah dengan melakukan simulasi apakah target target produksi minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO) sebanyak 40 juta ton pada tahun 2020 sudah mencukupi atau perlu dikembangkan.
Sebaiknya, kata Dodiek, dihitung dengan penanaman sawit yang sudah dilakukan serta pengembangan perkebunan sawit kedepan. Dari situ kita bisa melihat apakah dengan kebun-kebun sawit yang ada sudah mencukupi atau perlu ditambah.
Pemberlakuan kebijakan moratorium tidak ubahnya peraturan yang bersifat diskriminatif. Di saat, pemerintah kesulitan mengembangkan tanaman perkebunan lain. Sedangkan, kelapa sawit sebagai komoditas strategis dilemahkan posisinya oleh pemerintah.
Enny Sri Hartati berpendapat bahwa kebijakan pembatasan ijin baru kelapa sawit tidaklah tepat. Kemampuan industri sawit untuk tumbuh dapat dijadikan prototipe pengembangan komoditas lain seperti karet, kakao dan komoditas berbasis agroindustri lain.
“Jangan sampai timbul kekhawatiran dari pemerintah sawit dapat melesat jauh. Sedangkan, komoditas lain tertinggal padahal yang harus dilakukan bagaimana komoditas tersebut bisa tumbuh lebih baik,” ujar Enny.