Masalah kebakaran lahan kurang diantisipasi pemerintah secara baik. Buktinya, Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan tidak punya helikopter pemadam. Sanksi pencabutan izin akan dijatuhkan kepada perusahaan pembakar .
Makin tebalnya kabut asap di Pekanbaru mengakibatkan status kota ini menjadi darurat pencemaran udara. Asap yang berasal dari kebakaran lahan dan hutan makin tebal. Kabut asap yang menyelimuti wilayah Riau ini telah terjadi sebulan lebih. Dampaknya, warga kesulitan beraktivitas seperti biasa. Bahkan di pekan ketiga September, kabut asap masuk ke rumah warga, kantor dan rumah sakit. Topa Simatupang, warga Pekanbaru, mengeluhkan kondisi udara yang tidak sehat akibat asap ini.
“Di rumah sakit, sudah banyak pasien yang antri akibat terkena serangan ISPA (red-infeksi saluran pernapasan akut,” keluh Topa.
Indeks pencemaran udara menyentuh batas bahaya. Itu sebabnya, pemerintah setempat menetapkan status darurat asap di Provinsi Riau, mulai Senin, 14 September. Di Pekanbaru, Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) menyentuh angka 984. Angka itu berada melewati level tertinggi ISPU antara 300-500, yang mendekati angka berbahaya.
Kementerian Kesehatan melansir data, kasus di Riau sebanyak 26.536 orang. Di Kalimantan Tengah mengalami kenaikan 7,12 persen, Kalimantan Selatan 5,2 persen, Jambi 3,5 persen, dan Sumatera Selatan 2,12 persen.
Tidak hanya di kota, perkebunan sawit terkena dampak buruk kabut asap. Santobri Setiana, Staf Sustainability PT Salim Ivomas Pratama, menceritakan di kebun perusahaan yang berlokasi di Rokan Hilir, ketebalan asap membuat kegiatan pekerja menjadi terganggu. Asap mengakibatkan prestasi kerja menurun kalau biasanya pemanen menambah jam kerja untuk mendapatkan premi lebih.
“Tetapi tebalnya asap yang berkepanjangan membuat pekerja cenderung pulang cepat untuk terhindar kontak dengan asap lebih lama,” kata Santobri dalam pesan singkat.
Selama asap melanda,kegiatan pemanenan menjadi berkurang. Santobri menyebutkan prestasi kerja pemanen turun sekitar 25%. Penyebabnya, sinar matahari tidak mencukupi. Paling sulit adalah pemanen tidak dapat membedakan buah mentah dan matang terutama di tanaman berusia tua.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyatakan mendukung langkah pemerintah dalam penanganan kebakaran lahan termasuk menindak perusahaan perkebunan, apabila terbukti dengan sengaja melakukan pembakaran. “Kalau memang clear and clean pembuktiannya, ya itu masuk ranah hukum,” kata Togar Sitanggang, Sekretaris Jenderal GAPKI.
Namun, Togar meminta semua pihak untuk tidak menggeneralisir bahwa perusahaan perkebunan sebagai pelaku pembakaran lahan. Sebab dari ratusan titik api yang tersebar di Indonesia, baru sekitar 20 titik yang diselidiki sampai sekarang. “Itupun belum semuanya perusahaan kelapa sawit. Lalu dari 20an ini, apakah bisa menggelapkan Sumatera dan Kalimantan sampai ke negeri seberang?,”tanya Togar.
Wisnu Suharto, Ketua Kompartemen Pembinaan Cabang GAPKI, menegaskan bagi anggota yang bersalah maka asosiasi tidak akan memberikan advokasi. “Perusahaan mesti bertanggunjawab sendiri atas perbuatannya,” kata Wisnu.
(Selengkapnya baca Majalah SAWIT INDONESIA Edisi September-Oktober 2015)
Sumber foto: www.greenpeace.org