Pemerintah saat ini tengah fokus membenahi tata kelola sektor sumber daya alam (SDA) perkebunan kelapa sawit, pasalnya praktek tata kelola perizinan kebun kelapa sawit ini kerap kali melahirkan praktek koruptif khususnya pada sektor perizinan. Secara khusus Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membentuk satuan tugas gerakan penyelamatan SDA mengingat praktek koruptif perizinan di bidang SDA ini sangat massif. Presiden Joko Widodo telah menyadari sehingga perizinan menjadi fokus utama dalam timnas pencegahan korupsi yang dibentuk oleh presiden.
Tentu harus diapresiasi upaya Presiden meluncurkan perizinan berbasis online single submission (OSS) untuk mengurangi panjangnya birokrasi pengurusan perizinan yang melahirkan budaya koruptif di sektor perizinan. Persoalannya adalah perizinan berbasis OSS belum dapat digunakan untuk mengurus perizinan teknis yang menjadi nyawa bagi industri SDA seperti misalnya Izin lingkungan, Izin Usaha Perkebunan/Pertambangan, sertifikat, izin pelepasan kawasan hutan dan perizinan teknis lainnya.
Guna memberantas korupsi di bidang perizinan SDA ini harus dibuat road map baik untuk kepentingan pemberantasan (enforcement) maupun untuk kepentingan pencegahan (preventif). Road map tersebut perlu disusun sehingga kinerja satuan tugas gerakan penyelamatan SDA oleh KPK maupun timnas pencegahan korupsi dapat efektif memberantas mafia perizinan SDA sehingga pada akhirnya sumber daya alam dapat berkorelasi dengan kesejahteraan rakyat banyak sebagaimana diamanatkan Pasal 33 UUD 1945.
Celah dan Akar Masalah
Akar masalah dalam persoalan korupsi perizinan SDA adalah disebabkan karena tidak adanya peta tata ruang, peruntukan dan kawasan yang definitif sehingga dapat digunakan sebagai acuan seluruh instansi dalam penerbitan perizinan di bidang SDA. Dengan berdalih kewenangan perizinan setelah otonomi daerah menjadi wewenang kabupaten dan provinsi maka setiap daerah memiliki peta tata guna lahan yang berbeda-beda bahkan tumpang tindih. Hal ini disebabkan berbedanya peta acuan setiap instansi guna keperluan penerbitan izin pengelolaan SDA.
Persoalan diatas sebenarnya dapat diselesaikan jika kebijakan satu peta sebagaimana telah dicanangkan pemerintah dapat diimplementasikan. Dengan kebijakan satu peta maka akan ada satu peta tata guna lahan secara definitif yang dapat digunakan sebagai acuan seluruh instansi dalam penerbitan perizinan.
Kebijakan satu peta ini sangat berkorelasi dengan semangat menekan korupsi pada pemberian izin pengelolaan SDA karena saat ini terkait perizinan SDA masing-masing instansi menerbitkan peta berdasarkan peta indikatif dengan tingkat skala 1:250.000, sedangkan tingkat keakuratan sebuah peta minimal 1:50.000, sehingga dapat dipahami terjadinya versi peta yang berlainan antar instansi pemerintah.
Peta indikatif artinya dianggap benar sampai dengan dibuktikan sebaliknya, sehingga dengan tidak pastinya kedudukan peta definitif inilah yang menimbulkan ketidakpastian dan panjangnya birokrasi yang menyebabkan praktek koruptif perizinan SDA yang pada akhirnya justru merusak tata kelola SDA di Indonesia.