Ekspor CPO Indonesia ke Uni Eropa bisa jadi terancam turun. Penyebabnya, tak hanya krisis finansial yang sedang melanda kawasan tersebut melainkan juga black campaign terhadap produk minyak sawit. Solusinya, pemerintah bersama pelaku usaha mesti gencar mempromosikan praktek minyak sawit berkelanjutan sebagai antisipasi turunnya permintaan.
Pada Mei kemarin, selama lima hari delegasi Indonesia yang dipimpin Suswono, Menteri Pertanian mempromosikan praktek minyak sawit berkelanjutan ke dua negara yakni Jerman dan Rusia. Dapat dikatakan, kedua negara ini merupakan salah satu tujuan utama ekspor CPO Indonesia ke Uni Eropa. Suswono, mengatakan promosi penting dilakukan untuk mempertahankan dan meningkatkan pangsa ekspor minyak sawit Indonesia ke Jerman dan Rusia. Sebagai gambaran, ekspor CPO Indonesia ke Jerman mencapai 266 ribu ton dan ekspor ke Rusia sebesar 323 ribu ton.
Suswono menjelaskan promosi hijau ini memberikan informasi mengenai potensi industri kelapa sawit yang memiliki efek multi ganda (multiplier effects) seperti menekan angka kemiskinan, membantu pemerintah untuk mengurangi angka pengangguran lewat sistem inti-plasma di perkebunan sawit. Khusus di Jerman, pemerintah menginformasikan kesiapan Indonesia dalam pelaksanaan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang akan bersifat wajib pada 2015.
Lewat kegiatan promosi ini, lanjut Suswono, volume ekspor CPO di kedua negara tadi dapat tumbuh 20% pada tahun ini. Sebagai contoh, permintaaan CPO di Rusia sebenarnya dapat mencapai 700 ribu ton tetapi baru 300 ribu ton yang dapat disuplai CPO Indonesia.
Alan Oxley, Chairman World Growth, mengatakan kegiatan promosi sangat penting dilakukan pemerintah Indonesia kepada negara-negara lain seperti Uni Eropa dan Amerika Serikat untuk melawan isu negatif terhadap minyak sawit dari Indonesia.
Kebijakan pemerintah yang menetapkan Indonesia Sustainable Palm Oil sebagai kewajiban merupakan solusi dari praktek budidaya sawit berkelanjutan. Alan Oxley memaparkan ISPO sudah menjadi alternatif yang tepat disamping Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang telah diikuti perusahaan kelapa sawit dunia dari hulu sampai hilir.
Mesti diakui, produk kelapa sawit Indonesia menghadapi banyak hambatan dari negara maju seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa. Sebut saja, aturan Renewable Energy Directive (RED) yang ditujukan melindungi produk biofuel Eropa berbasis minyak nabati seperti kanola dan bunga matahari supaya tidak kalah bersaing dengan produk biofuel berbasis CPO. Pasalnya, harga minyak sawit lebih kompetitif dari minyak nabati lain.
Fadhil Hasan, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, menjelaskan krisis finansial yang terjadi di Eropa berpotensi menurunkan permintaan minyak sawit dari kawasan tersebut. Dari total jumlah ekspor CPO, permintaan minyak sawit dari Uni Eropa lebih banyak ditujukan memenuhi kebutuhan industri biofuel, yang porsinya mencapai 65%. Sisanya 35% digunakan bagi kebutuhan baku industri makanan. Setelah adanya aturan RED ini, diperkirakan permintaan minyak sawit dari industri biofuel Uni Eropa akan berkurang menjadi 60%.
Pada 2011, Gapki mencatat total volume ekspor CPO dapat mencapai 16,5 juta ton. Dari jumlah ini, pengiriman ekspor CPO Indonesia ke Uni Eropa turun menjadi 3,5 juta ton pada 2011 dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 3,7 juta ton.
Potensi Rusia
Rusia adalah salah satu negara yang belum digarap secara optimal pasar CPO-nya oleh Indonesia. Hingga tahun 2011, suplai CPO Indonesia baru menguasai sekitar 30% dari impor minyak nabati Rusia. Semenjak 1970, Rusia telah menjadi pengguna minyak sawit dalam produk makanan.
Tony Liwang, Direktur PT Dami Mas Sejahtera, menjelaskan pengiriman CPO ke Rusia terhambat masalah infrastruktur terutama pelabuhan. Akibatnya, kegiatan ekspor tidak berjalan optimal.
Uniknya, kebutuhan CPO Rusia juga disuplai dari negara pengimpor CPO seperti Jerman, Belanda, dan Ukraina. Tony Liwang mengatakan Indonesia semestinya dapat mengambil alih ekspor CPO yang dilakukan ketiga negara tadi, yang total diperkirakan mencapai 24%. Hal ini disebabkan akses pengiriman CPO dapat dilakukan lewat ketiga negara tadi. “Sebagai contoh, CPO dari Belanda dibawa ke Rusia menggunakan kereta api,” kata Tony.
Menurutnya, kegiatan promosi green palm oil perlu lebih intens dilakukan kepada Rusia karena negara ini belum terkontaminasi isu-isu negatif seperti kawasan Eropa Barat. Salah satu dari asosiasi importir minyak sawit Rusi adalah membentuk lembaga seperti Indonesia Palm Oil Council di Rusia, yang bertugas sebagai duta minyak sawit Indonesia dan menyampaikan informasi terkait pengembangan minyak sawit Indonesia.
Tentu saja, peluang mengisi pasar CPO di Rusia menjadi tantangan bagi eksportir dalam negeri. Sebab, negara ini tetap memiliki pengaruh dan dapat menjadi pintu gerbang untuk menembus pasar CPO di negara-negara eks Uni Soviet. Hal ini akan berimbas kepada semakin tingginya volume dan nilai ekspor nasional setiap tahun. (amri)