Peredaran benih sawit non sertifikat atau ilegal dapat ditekan asalkan akses petani memperoleh benih juga dipermudah. Solusinya, penguatan kerjasama antara produsen,pemerintah dan petani guna menuntaskan masalah lawas ini.
Sangat mengejutkan, peredaran benih non sertifikat ternyata mencapai 60% atau sekitar 2,04 juta hektare dari total luas lahan perkebunan sawit rakyat 3,4 juta hektare sampai tahun ini. Tentu saja, maraknya penggunaan benih non sertifikat mengkhawatirkan pertumbuhan industri kelapa sawit dalam meningkatkan angka produktivitas CPO nasional. Walaupun, suplai benih sawit telah mengalami kelebihan atau surplus ternyata masih ada benih ilegal yang dibeli petani.
Asmar Arsjad, Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia, menuturkan petani lebih berminat terhadap benih non sertifikat karena harganya lebih murah daripada harga benih yang berasal dari perusahaan. Sebagai contoh, satu butir benih non sertifikat dapat dijual Rp 500, yang tidak sebanding dengan harga benih sertifikat yang dijual Pusat Penelitian Kelapa Sawit sekitar Rp 6.000-Rp 7.000 per butir.
Namun, dia menepis anggapan bahwa pemakaian benih non sertifkat ini didorong rumitnya mekanisme pengajuan benih kelapa kepada perusahaan produsen. Sebab, persyaratan sebatas surat keterangan atau dari Kantor Kepala Desa setempat sebagai bukti dirinya petani dan tujuan pembelian, tanpa harus melalui dinas perkebunan setempat.
Tetapi Gamal Nasir, Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, menduga penggunaan benih sawit non sertifikat akibat mekanisme yang berbelit-belit dari produsen benih. “Sebaiknya, persyaratan dibuat lebih praktis dan tidak mempersulit petani,” kata Gamal.
Tony Liwang, Direktur PT Dami Mas Sejahtera sependapat akses petani memperoleh benih sertifikat perlu dipermudah tanpa menerapkan persyaratan rumit. Bagi petani swadaya yang berada di pedalaman, mereka akan kesulitan mengurus surat pengantar dari kelurahan atau kecamatan. “Jangan bayangkan kondisi perkebunan sawit seperti di kota, yang lokasi kantor kecamatannya dapat diketahui dengan mudah,” papar Tony.
Dengan kemampuan Indonesia mencukupi kebutuhan benih sawit dari dalam negeri, bahkan mengalami surplus. Idealnya, peredaran benih bersertifikat tidak perlu terjadi di beberapa daerah. Tony Liwang menyayangkan belum terselesaikannya masalah benih palsu yang dihadapi petani. Padahal, dampak dari penggunaan benih palsu membuat pertumbuhan produktivitas CPO nasional stagnan atau kemungkinan turun.
Asmar Arsjad mengakui pemakaian benih non sertifikat menyebabkan produktivitas CPO nasional menjadi rendah sebesar 1,3-1,5 ton per hektare per tahun dan produktivitas buah sawit sebesar 10-12 ton per hektare per tahun. Jumlah ini tidaklah sebanding dengan benih bersertifikat yang produktivitas CPO dapat mencapai 4 ton per hektare per tahun dan produktivitas TBS mencapai 17-20 ton per hektare per tahun.
Peran pemerintah
Antisipasi dan penyelesaian masalah benih non sertifikat butuh campur tangan pemerintah pusat serta daerah, guna menekan angka kerugian yang ditanggung petani.
Gamal Nasir, Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, menjelaskan pemerintah telah mengambil inisiatif untuk memberikan bantuan benih kepada petani khususnya swadaya. Bantuan ini mengganti benih non sertifikat dengan pemberian benih unggul bersertifikat. Program ini telah dimulai semenjak 2010 yang bernama Kegiatan Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Tanaman Tahunan. Sumber dana diambil dari dana dekonsentrasi dan tugas perbantuan.
Berdasarkan data Direkorat Jenderal Perkebunan, bantuan benih unggul bersertifikat diberikan kepada satu provinsi yakni Jambi pada 2011. Nilai anggaran yang dialokasikan sebesar Rp 1,5 miliar.
Pada 2012, nilai bantuan ini meningkat menjadi Rp 35,5 miliar yang ditujukan kepada 8 kabupaten di 10 provinsi. Program bantuan ini ditujukan kepada 6.615 hektare perkebunan sawit rakyat. “Untuk petani plasma, bantuannya sudah termasuk di dalam kebijakan revitalisasi perkebunan,” papar Gamal kepada Sawit Indonesia.
Tagor Nasution, Kepala Dinas Perkebunan Jambi, menjelaskan bantuan benih subsidi sudah diberikan kepada petani di provinsinya dengan memberikan harga murah. Untuk benih siap tanam, pihaknya menjual seharga Rp 12.500 per benih yang lebih rendah daripada benih siap tanam di tingkat produsen sekitar Rp 30.000-Rp 35.000 per benih..
Asmar Arsjad meminta ketelitian dan kewaspadaan pemerintah daerah dalam pelaksanaan program bantuan benih, karena dikhawatirkan benih yang diberikan tersebut adalah benih non sertifikat. Pemerintah daerah mesti belajar dari pengalaman seperti di Aceh pada 2009, ketika dilakukan pemusnahan benih ilegal sebanyak 1,5 juta benih. Pasalnya, pemerintah daerah setempat berencana menggunakan benih ilegal tadi untuk bantuan kepada petani masyarakat.
Bantuan PPKS
Langkah maju dilakukan Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) yang memberikan kemudahan kepada petani. Razak Purba, Peneliti Pemulia Kelapa Sawit PPKS, menjelaskan petani mendapatkan kemudahan persyaratan dan diberikan diskon sebesar 10% kepada petani yang membeli kecambah kurang dari 5.000 butir. Kelengkapan persyaratan berupa foto copy Kartu Tanda Penduduk (KTP) serta surat kepemilikan lahan atau bisa juga surat keterangan kepemilikan lahan dari kepala desa setempat.
Sistem waralaba juga dijalankan PPKS yang terdiri dari waralaba bibit PPKS, waralaba benih, dan waralaba pohon induk. Razak menjelaskan waralaba bibit menyediakan kecambah dengan pembayaran tunda dan penangkar membesarkan bibit untuk disalurkan kepada petani. Jumlah waralaba bibit 23 penangkar yang berasal dari individu, kelompok tani, koperasi dan perusahaan. Sementara, waralaba benih menyediakan fresh seed dan pewaralaba mengecambahkan benih tersebut yang disalurkan kepada petani dilengkapi dokumen dari PPKS. Untuk waralaba pohon induk , PPKS menyediakan material genetik dan perusahaan dapat memproduksi benih yang dapat digunakan bagi kepentingan perusahaan maupun petani sekitarnya.
PPKS menjalankan pula Program sawit untuk rakyat (Prowitra) di enam provinsi antara lain Aceh, Sumut, Riau, Jambi, Sumbar dan Bengkulu. Program ini didukung mobil box yang membawa 20.000 kecambah untuk disalurkan secara langsung kepada petani. Selain penyaluran kecambah, petugas PPKS bekerjasama dengan Disbun dan pemerintah setempat (camat, kepala desa) untuk sosialisasi penggunaan benih unggul dan penerapan kultur teknis standar pada pengelolaan kebun sawit petani. (amri)