Wayan Supadno sangat yakin riset dan inovasi akan membantu petani untuk meningkatkan kualitas produksi dan pendapatan.
“Saya harus tahu diri bahwa saya bukan orang pintar. Tetapi saya harus caranya bagaimana supaya dekat dengan orang pintar. Saya harus mesra dengan pakar dan periset,” jelas Wayan yang pernah mendapatkan Penghargaan Petani Inovatif Nasional pada 2016.
Dalam pandangan Wayan, petani harus adaptif dengan beragam inovasi karena inovasi ini akan mengantar hidup lebih makmur dan sejahtera. Itu sebabnya, banyak perusahaan besar ternama memberikan doktrin kepada manajemen dan jajarannya yang berbunyi inovasi atau mati.
Tak heran, Wayan Supadno mendapatkan penghargaan Icon Prestasi Pancasila sebagai Wiraswasta, Motivator, & Inovator di BidangPertanian pada peringatan HUT ke 75 RI pada 2020. Penghargaan ini diberikan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) kepada untuk 75 ikon apresiasi prestasi Pancasila.
Semenjak berkarir di TNI AD, Wayan Supadno telah menggeluti kegiatan riset dan inovasi. Salah satu hasil risetnya adalah pencegahan malaria melalui ekstrak Citronella dan Geraniol yang menjadi bekal bagi prajurit yang bertugas di Papua.
“Biaya mengobati malaria itu sangat besar sekali. Makanya saya berpikir untuk preventif. Dengan ekstrak tadi lalu dioleskan kebagian tubuh prajurit,” ujarnya.
Ramuan ini diketahuinya karena senang baca jurnal. Wayan mengatakan setelah membaca jurnal tadi lalu diaplikasikan. ”Saya memang suka riset dan berteman dengan para pakar,” jelasnya.
Pada 2009, Wayan Supadno mulai mengembangkan formula pupuk hayati untuk membantu pertumbuhan berbagai macam tanaman, yaitu pupuk organik Bio-Extrim, Organox, dan ZPT Hormax.
“Fasilitas produksi pupuk saya berada di Cileungsi dan sudah dipasarkan keseluruh Indonesia,” ujar Wayan.
Produk pupuk yang dihasilkannya sangat bermanfaat untuk membantu pencetakan sawah 21 hektar dilahan tandus dan mengubahnya menjadi lahan subur produktif. Sawah yang awalnya hanya menghasilkan padi 3,5 ton per hektar berubah menjadi 7,5 ton perhektar. Selain itu pupuk tersebut mampu mendongkrak hasil singkong dari 25 ton per hektar menjadi 90 ton per hektar.
Wayan menceritakan hasil inovasinya mampu mengubahn lahan marginal bekas tambang pasir menjadi perkebunan sawit. ”Kalau dulu lahan tersebut tandus tetapi sekarang dapat dihijaukan dengan sawit. Ini pekerjaan mulia,” ungkap Wayan.
Begitu pula alasan Wayan memelihara sapi di kebun sawit karena ingin melakukan riset. Riset ini berkaitan manfaat limbah kotoran sapi untuk dimanfaatkan menjadi pupuk. Dalam satu artikelnya dijelaskan Wayan bahwa Limbah tidak berdampak negatif dan lahan pertanian tetap sehat, subur dan produktif kompetitif akibat rendahnya HPP yang mininal jumlah pemakaian biaya untuk belanja pupuk maupun pestisida. Pangan masyarakat sehat, petani labanya meningkat tajam.
Potensi pupuk kohe dari sapi sangat dipengaruhi oleh pola dan bahan pakannya. Feses kering angin 7 – 10 x BBH rerata dalam setahun. (Sapi 300 kg, rerata 400 kg/hari setahun dapat 3 sd 4 ton kering angin). Sementara itu, urine 5 – 7 x BBH rerata dalam setahun. (Sapi 300 kg, rerata 400 kg/hari setahun dapat 2.000 sd 2.800 liter
Dijelaskan Wayan bahwa limbah kotoran dari ratusan ekor sapi sangat bermanfaat nyata. Sebabnya mengandung C Organik tinggi sebagai nyawanya tanah, media biak mikroba, indikator kesuburan tanah dan lengkap unsur hara makro mikronya. Makin menekan HPP sekaligus mendongkrak laba usaha kebun. Memaksimalkan laba ternak karena HPP nol.
“Saat ini saya memiliki sekitar 400 ratu sekor sapi. Jadi kalau dikatakan pelihara sapi di kebun sawit penyebab Ganoderma, itu salah besar. Orang yang tidak pelihara sapi tetap saja kena Ganoderma,” urainya.
Wayan menegaskan bahwa kesalahan bagi pekebun sawit apa bila tidak pelihara sapi. Karena banyak manfaat dihasilkan sapi untuk membantu menekan biaya pokok produksi dan kualitas hasil panen.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 131)