Suatu ketika, India memberlakukan peraturan bahwa minyak sawit yang masuk ke negarannya seharusnya mengandung setidknya 500 ppm beta karoten. Ada dugaan latar belakang keputusan India itu dilandasi kecurigaan mereka terhadap beberapa eksportir yang “mengakali” pajak masuk supaya lebih ringan. Pajak terhadap barang jadi jauh lebih tinggi ketimbang pajak terhadap barang mentah. Minyak sawit digolongkan kepada bahan mentah, sedangkan olein atau minyak goreng adalah hasil proses pemurnian sehingga termasuk barang jadi. Beberapa kalai terjadi pihak bea cukai India menemukan barang yang masuk disebut minyak sawit mentah kendati dicuriagai bahwa di dalamnya adalah olein atau minyak goreng siap pakai hasil olahan dari minyak sawit mentah.
Oleh sejak itu Pemerintah India memberlakukan ambang batas kandungan beta karoten serendah-rendahnya 500 ppm dalam minyak sawit mentah. Dengan demikian, eksportir tidak bisa main-main lagi dengan barang mereka. Pemberlakuan ini berimbas luas, tanpa terkecuali pada negara produsen seperti Indonesia. Eksportir pun gelisah. Kapal-kalap yang tiba di pelabuhan India dan membawa CPO dari Indonesia diperiksa dengan ketat. Kadar karoten diukur dengan cermat di laboratorium. Jika ternyata nilainya di bawah 500 ppm, pihak importir dikenai selisih bea masuk. Importir yang terkena denda tentu saja meminta tanggung jawab eksportir Indonesia.
Saya langsung mendengar keluhan dari beberapa pengusaha yang sering mengekspor CPO dari Belawan dan Dumai ke India. Pihak importir di India juga menghadapi kesulitan karena bisnisnya tersendat. Teman saya, Dr. B.V. Mehta, Direktur Eksekutif SEA yang berkantor di Mumbai, menelepon saya. E-mail-nya juga dikirim ke kantor Gapki. Kami sepakat untuk melakukan upaya mencari jalan keluar.
Sumber : Derom Bangun