JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Maruli Gultom, Mantan Aktivis Mahasiswa 77/78 menyebutkan industri sawit telah menjadi hajat hidup orang banyak karena jutaan petani dan masyarakat hidup serta bekerja di perkebunan sawit. Komoditas ini salah satu dari sedikit produk unggulan Indonesia di kancah dunia
“Karena itu setiap warganegara Indonesia wajib melindungi komoditas sawit dari kampanye hitam NGO asing,” kata Maruli dalam laman facebooknya.
Maruli mengkritik kampanye anti sawit yang digulirkan LSM asing karena minyak nabati di negara mereka tergusur oleh minyak sawit.
“Kalau orang Indonesia berhasil diprovokasi LSM asing dan ikut-ikutan kampanye anti sawit, itu adalah mengkhianati bangsa sendiri,” kritiknya.
Maruli Gultom yang sudah berkecimpung di industri sawit selama 20 tahun lebih mengkritik lamanya sikap hipokrit LSM asing yang menyerang tanaman sawit Indonesia dengan dalih lingkungan. Namun membiarkan perkebunan minyak nabati mereka seperti kedelai dan rapeseed yang menghancurkan hutan 20 kali luasnya dari perkebunan sawit di Indonesia.
“Lahan perkebunan minyak nabati di Uni Eropa dulu asalnya dari hutan. Bahkan tanaman minyak nabati mereka cuma dari tanaman semak dan tidak menghasilkan oksigen. Yang disayangkan, tanaman semusim mereka tidak berkontribusi menyerap CO2,”tegas Maruli.
Bahkan, kata Maruli,m setiap enam bulan tanaman itu diganti sehingga membuang karbon ke atmosfir. Sebab, tanahnya harus diolah kembali untuk ditanam ulang.
Maka dari itu, tanaman sawit lebih ramah lingkungan dibandingkan tanaman penghasil minyak nabati lain. Setiap 25 tahun sekali tanaman sawit baru diremajakan untuk diganti bibit baru. Artinya, carbon sequestration (karbon dari dalam tanah terlepas ke udara) terjadi hanya satu kali dalam 25 tahun.
“Dan hebatnya, perkebunan kelapa sawit itu setara dengan hutan sekunder. Menyerap CO2 dan menghasilkan O2,” tuturnya.
Tanaman sawit menghadapi perlaku diskriminatif dibandingkan tanaman minyak nabati lain. Ini terbukti, ada kewajiban minyak sawit bersertifikat ramah lingkungan (certified sustainable palm oil ). Sedangkan, minyak kedelai dan minyak nabati lainnya tidak diharuskan bersertifikat ramah lingkungan.
Maruli Gultom mengkritik sikap Chanee Kalaweit, aktivis lingkungan, yang menuding industri sawit sebagai pihak yang bertanggungjawab atas kebakaran.
“Kalaweit bule pelintir informasi, menyesatkan opini masyarakat Indonesia. Suruh pulang saja dia ke negeri leluhurnya,” pungkas Maruli.