JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Kalangan akademisi meragukan kebenaran foto yang beredar di lini sosial media terkait penanaman bibit sawit di lahan baru terbakar. Pasalnya, bibit sawit tidak akan tumbuh di lahan tersebut apalagi tanpa dukungan curah hujan tinggi.
“Ada motif dibalik itu semua, kalau ada motif menurunkan citra sawit bahwa kita tidak ramah lingkungan bisa juga terjadi. Karena kalau petani atau perusahaan sengaja melakukannya (red-membakar) itu kontraproduktif,” kata Prof.Budi Indra Setiawan, Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) dalam perbincangan via telepon kepada SAWIT INDONESIA.
Menurut Budi Indra, bibit sawit akan mati apabila ditanam pada musim kemarau dan ditanam di lahan baru terbakar. Dampaknya, jika hujan tidak turun maka bibit akan kekurangn air dan berakibat bibit lebih menderita.
Ditambahkan Budi Indra, sulit diterima akal sehat jika motifnya ingin tanam sawit lalu lahan dibakar ketika musim kemarau masih berlangsung. Berdasarkan kearifan lokal, lahan yang dibakar di musim kemarau sudah memperkirakan hujan akan turun seminggu kemudian untuk menghilangkan sisa residu.
“Namun kalau lahan dibakar di musim kering. Sedangkan, hujan baru datang satu sampai dua bulan lagi. Rasanya tidak mungkin ada motif ingin menanam,” paparnya.
Dr Hasril Siregar, Direktur Pusat Penelitian Kelapa Sawit, menyebutkan secara teknis tidak bisa lahan yang habis terbakar langsung ditanami bibit kelapa sawit. “Sehingga tidak benar kalau ada yang menanam sawit di lahan bekas terbakar atau yang dibakar, seperti yang ramai diberitakan di kawasan konservasi orangutan (arboretum) Nyaru Menteng, Kalimantan Tengah,” kata Hasril seperti dilansir dari Antara.
Dalam pandangannya, penanaman bibit kelapa sawit tidak bisa dilakukan sembarangan karena memerlukan sejumlah persyaratan antara lain kecukupan air minimal telah turun hujan 50 mm/100 hari atau pada bulan basah dengan curah hujan 100-200 mm/bulan. Lalu perlu juga dukungan teknis pemancangan, pelubangan terbuka sekitar satu minggu dan diberi pupuk dasar jenis fosfat.
Rudi, Kepala Rumah Tangga Kelurahan Tumbang Tahai, Kecamatan Bukit Batu, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, yang tinggal dekat kawasan Nyaru Menteng. Menurutnya petani tidak mungkin tanam bibit sawit di lahan yang baru terbakar. Sebab, lahan yang ditanam bibit kelapa sawit bukanlah lahan yang dibakar dua minggu yang lalu.
Pria yang turun temurun tinggal di pinggiran Sungai Tahai ini menjelaskan lahan di KM 26 dan 27 tersebut sengaja dibakar oleh masyarakat. Dari luas areal yang direncakan untuk ditanam seluas 38 hektare. Sekitar 24 hektare dikelola kelompok masyarakat Kelurahan Tumbang Tahai.
Rudi mengatakan bahwa lahan yang dibakar bagian dari kearifan lokal masyarakat setempat, dan bukan milik perusahaan. Kegiatan pembakaran lahan ini dilindungi aturan pemerintah setempat dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Kalimantan Tengah Nomor 52 Tahun 2008 tentang Pedoman Pembukaan Lahan dan Pekarangan Bagi Masyarakat di Kalimantan Tengah.
Budi Indra Setiawan menyebutkan pembakaran lahan yang dilakukan masyarakat lokal sifatnya terkendali yang telah memperhitungkan pergantian musim kemarau kepada hujan. Selain itu, kegiatan pembakaran untuk membersihkan lahan dari tanaman pengganggu bukan bertujuan membakar gambut.