Dengan berbagai macam keunggulan yang dimilikinya, industri kelapa sawit masih dipandang sebelah mata di dalam negeri. Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) berupaya memperkuat posisi industri sawit sehingga menjadi industri strategis dan diakui pemerintah.
Dalam kata sambutannya di pembukaan Konferensi Pengembangan Industri Sawit, Hatta Rajasa, Menteri Koordinator Perekonomian RI, mengatakan industri sawit mampu menjawab tantangan yg melahirkn strategi dalam rangka kebersamaan sebagai salah satu pilar membangun bangsa.
Menurut Hatta Rajasa, perlu pendekatan ilmiah yang mampu dipergunakan menjawab kampanye negatif yang selama ini terjadi. Pemerintah, kata Hatta, berupaya meyakinkan pasar dengan kampanye dan pendekatan bahwa produk kelapa sawit Indonesia ramah lingkungan dan tidak sepenuhnya seperti apa yang dikampanyekan pihak-pihak tertentu.
Untuk itu, ujar Hatta Rajasa, ada tiga pilar utama yang dimiliki pemerintah memiliki tiga pilar utama dalam penuntasan masalah sawit nasional. Pilar pertama adalah sustainability (keberlanjutan) untuk penyelesaian masalah itu mempunyai konsep dan strategi pada sistem sustainability development menyangkut tiga aspek. Antara lain, pembangunan untuk masyarakat kini tanpa mengabaikan masyarakat mendatang, lingkungan, dan isu sosial.
Pilar yang kedua adalah mengacu kepada role developvment pedesaan. Hal ini telah dapat dibuktikan pemerintah dan semua elemen. Industri sawit ini mampun meningkatkan pembangunan di pedesaan yang diukurdari GDP daerah. “Jadi, pendapatan daerah itu meningkat, baik dari tingkat pengangguran menurun, kurangi kemiskinan dengan membuka jutaan lapangan kerja,” kata Hatta.
Hatta Rajasa menjelaskan sektor perkebunan kelapa sawit mampun menekan angka kemiskinan. Bukan hanya itu saja, sektor ini mampu mengikuti perkembangan dan kegiatan ekonomi lainnya sehingga akan menyerap tenaga kerja dan menumbuhkan perekonomian.
“Sawit ini terbukti bisa mengurangi kemiskinan lewat pembukaan lowongan kerja, baik juga perumahan, irigasi, air bersih, sekolah. Jadi, semua itu dampak dari pembangunan sawit kita itu sendiri. Kalau pekerjaan itu kita kerjakan, maka negatif isu itu akan kita hilangkan,” jelas Hatta.
Adapun pilar ketiga yaitu pendekatan teknologi dan adopsi inovasi. Menurut Hatta teknologi yang dihasilkan kelapa sawit dapat dimanfaatkan. Contohnya, dari limbah pengolahan kelapa sawit yang menghasilkan gas metan. “Gas metan ini yang dulu terbuang sekarang ditangkap dengan alat, bisa membran atau bisa segala macam. Berikutnya bisa dipakai untuk pembangkitkan listrik. Untuk 60 ton tandan buah segar per jam yang diproses, menghasilkan 2 MW listrik. Ini sesuatu yang positif,” ujar Hatta.
Namun demikian, untuk mewujudkan itu, semua pihak harus bersinergi. “Menurut saya, ini hanya bisa kita lakukan jika kita bersama, perdagangan jangan jalan sendiri, pertanian, perindustrian, Ristek. Ini kita bikin grand strategi dalam hadapi tantangan tersebut. Selepas ini, saya akan pimpin rapat koordinasi dengan sejumlah pihak utuk mewujudkan itu,” tandasnya.
Tantangan industri sawit menghadapi dua masalah yaitu kampanye negatif pihak atau negara tertentu agar hasil produksi kelapa sawit nasional tidak laku di pasaran. Kedua, upaya menghadapi persaingan karena negara-negara maju itu tidak diam dan akan terus menggenjot produktivitasnya.
Menurut Hatta Rajasa,pendekatan dan pemanfaatan teknologi seperti teknologi genetik berpotensi meningkatkan produktivitas sawit di dalam negeri. Beruntung sekarang ini, periset dapat meningkatkan produktivitas kelapa sawit dari 3 ton menjadi 7 ton per hektare. Untuk itu, solusi mengatasi berbagai permasalahan bidang kelapa sawit dalam negeri, juga harus menggandeng negara-negara penghasil sawit dunia.
“Perlu ada gerakan seperti ‘total footbal’ karena tidak bisa sendiri-sendiri dan tidak sedikit-sedikit. Kalau orang hantam kita, misalkan dengan membuat label seperti yang dilakukan penghasil cokelat, ‘Sawit ini dari Malaysia’. Itu secara tidak langsung katakan, sawit kita tidak layak di makan,” kata Hatta Hatta.
Gusti Hatta, Menteri Llingkungan Hidup, mengatakan Gusti hatta pihaknya dapat menyediakan dana untk penelitian yang mengarah kepada sawit. Sudah ada pusat unggulan kelapa sawit yang diarahkan kepada zero waste dan zero pollution. Kemudian, perlu juga melibatkan orang luar untuk melihat dan masukkan ke jurnal yang dipercaya mereka.
Ditambahkan kembali, Indonesia mesti mengajak pihak luar untuk melawan kampanye hitam terkait sawit sekaligus membuktikan bahwa sawit Indonesia aman. Keterlibatan tersebut bisa dilakukan dengan cara mengundang pihak luar ikut melakukan penelitian bersama.
Derom Bangun, Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia, mengatakan tahun 2014 akan menjadi tahun ujian bagi industri kelapa sawit untuk memadukn kekuatan bagi pemangku kepentingan dari pemerintah dan pelaku usaha
Ada berbagai macam peraturan yang diterapkan oleh Uni Eropa seperti pencantumkan minyak sawit pada label makanan yang akan berlaku pada 13 Desember 2014. Kemudian, ada rencana Inggris akan membeli minyak sawit yang berkelanjutan dan dilindungi pada 2015. Negara-negara Eropa lain seperti Belgia, Belanda, Jerman dan Prancis hanya bersedia membeli sawit yang sudah besertifikat RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil).
Derom mengatakan masih ada ratusan produsen sawit di Indonesia yang belum bersertifikat RSPO. Memang, pasar utama sawit Indonesia bukan ditujukan ke Eropa diperkirakan setiap tahun volume ekspor mencapai 2,5 juta ton per tahun.
Untuk kelanjutan pengembangan standar pengembangan sawit berkelanjutan di Indonesia adalah menggunakan Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO). “ Di pasar Uni Eropa itu pada 2015, sudah memiliki peraturan yang jelas yakni menginginkan sawit bersertifikat bisa masuk kesana. Kalau sawit bersertifikat ISPO juga diserap itu bagus sekali,” ujar Derom.
Derom meminta pemerintah tanggap terhadap berbagai macam peraturan yang akan berlaku di Eropa. Itu sebabnya, pihak DMSI aktif menggandeng negara produsen lain seperti Nigeria, Pantai Gading, dan Kongo guna mengatasi kampanye negatif soal sawit di pasar internasional. (Qayuum)