Sudah berjalan dua tahun, belum banyak perusahaan kelapa sawit yang “lulus” audit sertifikasi ISPO. Kendati bersifat mandatori, kalangan perusahaan berpikir dua kali karena mengikuti sertifikat lain seperti RSPO. Guna mendorong partisipasi perusahaan, Komisi ISPO meminta masukan dari mereka khususnya prinsip dan kriteria.
Kewajiban sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) bagi pemangku kepentingan industri sawit tidak bisa dianggap remeh. Fakta berbicara banyak pelaku sawit yang belum dapatkan sertifikat ISPO akibat usaha perkebunannya melanggar aturan. Sebagai informasi, ISPO adalah kegiatan verifikasi terhadap perusahaan perkebunan untuk mengetahui sejauh mana kepatuhan mereka terhadap regulasi.
Herry Priyono Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian, pada acara seminar ISPO di Hotel Gran Melia, mengatakan skema ISPO telah diluncurkan pada bulan Maret tahun 2011 dan berlaku penuh sejak 1 April tahun 2011. Sejak penerapannya sudah 19 perusahaan yang telah disertifikasi oleh ISPO dan 9 lembaga sertifikasi telah ditunjuk untuk melaksanakan sertifikasi ISPO. Target sertifikasi ISPO pada akhir tahun 2013 diperkirakan 30 sampai dengan 50 perusahaan perkebunan kelapa sawit tersertifikasi.
Ismu Zulfikar, Head of Environment PT Sinar Mas Agro and Resources Technology (SMART) Tbk menilai keterlibatan pelaku perkebunan sawit baik perusahaan, plasma, maupun swadaya mutlak dibutuhkan. Menurutnya hal ini dibutuhkan untuk mendukung daya produksi perusahaan, karena bila plasma tidak diikutsertakan dalam ISPO sementara regulasi ISPO mengikat keseluruhan produk kelapa sawit, maka produksi plasma tidak mampu dijual.
Selanjutnya Ismu memberikan masukan bahwa pada penerapan ISPO belum memiliki kemampuan trace back atau pembuktian bahwa satu perkebunan telah menerapkan ISPO selain ditandai dari sertifikatnya. Menurut Ismu Zulfikar, proses trace back ini penting untuk membuktikan bahwa produk CPO yang dijual telah lulus sertifikasi ISPO. Sehingga, produk yang diproduksi mampu dimaksimalkan penjualannya.
“Semisal dalam setahun, produksi CPO perusahaan dapat mencapai 200 ribu ton yang bersertifikat ISPO. Nah, proses produksi harus dapat dipertanggungjawbkan end user. Sekarang tahapnya baru di tingkat manajemen tapi bagaimana pengguna dapat percaya produksi tadi berasal dari perkebunan yang sustainable, itu yang belum bisa dibuktikan. Karena dalam audit belum kelihatan,” jelasnya.
Ditambahkan kembali, proses penelusuran (traceability) proses produksi CPO untuk ISPO dapat mengikuti sistem ISCC – sertifikasi untuk energi terbarukan di pasar Uni Eropa – karena semua sudah tertulis. Sebagai contoh, kegiatan produksi perusahaan A mulai dari kebun, buah, menjadi minyak sampai dibawa ke bulking, dan dibawa produsen itu bisa dilacak asalnya.
Bukan hanya dari segi manajemen, para pelaku sawit juga banyak mengeluhkan biaya sertifikasi ISPO yang tinggi. Biaya proses sertifikasi ISPO menjadi tinggi karena dana dialokasikan ke pos-pos yang berbeda-beda. Ida Bagus Mayun, Coordinator Sustainability PT Sarana Inti Pratama mengeluhkan beban perusahaan kian bertambah karena harus mengikuti audit sertifikasi yang bermacam-macam misalkan RSPO, ISPO, dan ISCC.
Sebagai solusinya, Ida Bagus Mayun meminta sertifikasi ISPO dapat digandengkan sertifikat lain seperti RSPO. Alternatif lain sertifikat itu dapat dikombinasikan. Langkah ini diambil guna menghemat biaya sertifikati yang ditanggung perusahaan.
Rosediana Suharto, Ketua Komisi Harian ISPO, mengakui adanya usulan penggabungan sertifikat ISPO dan RSPO dari kalangan perusahaan sawit. Permintaan ini tampaknya akan sulit direalisasikan karena sifat dari kedua sertifikasi ini berbeda. Kalau ISPO bersifat mandatori yang berdasarkan aturan pemerintah, sedangkan RSPO bersifat sukarela dan berdasarkan kepentingan bisnis perusahaan.
Menanggapi hal tersebut, Kementerian Pertanian sendiri meyakinkan para pelaku kelapa sawit untuk tidak risau melihat pasar CPO berkelanjutan akan semakin terbuka lebar. Herry Priyono mengungkapkan meskipun permintaan CPO berkelanjutan belum sebesar yang diharapkan, akan tetapi permintaan tersebut akan meningkat di waktu mendatang, terutama setelah 2014. “Eropa sudah mempersyaratkan akan membeli minyak sawit yang berkelanjutan untuk penggunaan industri dan energi terbarukan,” ujar Herry.
Kementerian Pertanian juga sudah berinisiatif melakukan pendekatan kepada beberapa negara perihal ekspor berkelanjutan ini untuk modal ekspor. “Saat ini pengakuan dan pendekatan ISPO telah dilaksanakan Kementerian Pertanian melalui mekanisme bilateral dan multilateral kepada beberapa negara misalnya Cina, Inggris, Belanda,” sambung Herry.
Dengan ISPO, ini sebenarny pelaku sawit dapat belajar apa saja kekurang yang dimiliki kebun, dari aspek perkebunan. Hal ini dapat terlihat dari pernyataan beberapa peserta seminar di dalam seminar ISPO yang mengungkapkan permasalahan misalkan ada kebun yang punya HGU tapi belum punya Izin Usaha Perkebunan (IUP). Lewat ISPO ini, kata Rosediana, permasalahan ini dapat dibantu karena tim di dalam ISPO ini melibatkan kementerian dan lembaga terkait.
Perpanjangan batas waktu
Joko Supriyono, Sekretaris Jendral Gapki, meminta supaya pemerintah dapat memperpanjang batas waktu ISPO, yang ditetapkan 31 Desember 2014. Hal ini disebabkan masih sedikitnya perusahaan perkebunan yang mengajukan diri untuk pendaftaran. “Proses ISPO ini termasuk berjalan lambat,”ujarnya.
Rusman Heriawan,Wakil Menteri Pertanian, dalam kesempatan terpisah mengakui baru 19 kebun yang memperoleh sertifikat ISPO dari 18 perusahaan. Padahal, jumlah perusahaan mencapai 820 yang harus melewati proses ISPO lewat auditor lembaga sertifikasi.
“Harus diakui, kemajuan ISPO ini tergolong kurang cepat. Penyebabnya, bisa dari perusahaan yang kurang aktif. Atau bisa juga lembaga sertifikasinya terlalu banyak yang dikerjakan,” ujarnya.
Ismu Zulfikar mengungkapkan Kementerian Pertanian harus memberikan batas waktu yang jelas untuk batas waktu pendaftaran ISPO. Memang, pada prinsipnya sampai 2014 terdapat harapan semua kebun dan pabrik sudah bisa ISPO. Tapi, hal ini mesti dilihat lagi sejauh mana progressnya. (Anggar S)