NUSA DUA, SAWIT INDONESIA – Menanggapi penyataan Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berkenaan dengan penggarap lahan perkebunan yang masuk kawasan hutan dinilai Assoc. Prof. Dr. H. Edyanus Herman Halim, SE., MS sebagai kebijakan seperti “membelah bamboo”.
Satu sisi diinjak dan satu sisi lagi diangkat di mana kebijakan tersebut menurut Ekonom yang juga Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Riau, disela-sela mengikuti 19th 19th Indonesian Palm Oil Conference and 2024 Price Outlook di The Westin Resort Nusa Dua Bali, 1-3 November 2023, sama dengan menimpakan beban berlipatganda pada masyarakat pekebun.
Sudahlah pekebun yang diklaim oleh KLHK sebagai kawasan hutan, dikenakan denda dan paling tragis tidak dibenarkan meneruskan usaha perkebunannya lalu harus pula melakukan penghutanan kembali pada lahan tersebut.
Petani sawit itu harus berinvestasi tidak ada bedanya dengan pengusaha, semua butuh biaya dan keteguhan.
Ini tidak manusiawi dan tidak menjamin kebijakan tersebut akan memberi manfaat yang lebih baik bagi kesejahteraan rakyat dan kemajuan bangsa.
Jika hal tersebut disebut kesalahan, sebenarnya tidak hanya dapat diletakkan kepada para pekebun tersebut. Ketika kebun tersebut dibuka tentunya diwilayah tersebut ada aparatur negara yang terkait dan bertanggungjawab atas pemanfaatan lahan dan kawasannya.
Jadi jika kebun itu ada tentu itu juga merupakan “kelalaian” aparatur pemerintah dan stakeholder terkait. Jangan-jangan mereka malah “menikmati” rente dari adanya kemelencengan tersebut sebelumnya melalui penyalahgunaan wewenang mereka.
Menurut Edyanus, yang juga merupakan salah seorang Pemangku Adat Kuantan Singingi Riau yang bergelar Datuk Bisai XII perlu ditempuh solusi yang adil. Kebun-kebun yang sudah terlanjur dibangun mungkin tidak harus dihutankan kembali. Kalupun dihutankan belum tentu mampu dibalikkan seperti semula. Dana denda yang dipungut juga belum dapat dipastikan akan dikelola secara bertanggungjawab.
Ada baiknya kebun-kebun tersebut dijadikan alat “redistribusi asset ekonomi kebun”. Sebagian dari kebun yang telah ada dialihkan kepemilikannya untuk penduduk miskin diwilayah tempatan. Termasuk untuk kebun-kebun perusahaan-perusahaan yang melebih izin. Ini lebih manusiawi tanpa menghilangkan atau “memberangus” kepemilikan kebun sebelumnya. Mellaui kebijakan ini program pengentasan kemiskinan akan lebih cepat tercapai. Efeknya terhadap pemerataan ekonomi lebih terasa dan berkesinambungan.
Kekuatan hasil perkebunan dalam perekonomian Indonesia sudah tidak dapat diragukan lagi. Backward Linkage dan Forward Linkage ekonominya sangat berkelindan erat. Jumlah masyarakat yang terlibat sangat besar dan pelaku usaha yang ada didalamnya juga besar.
Multiplier effect terhadap perekonomian masyarakat dan bangsa tidak dapat dipandang sebelah mata. Pemerintah harus memandang sektor ini sebagai penguat daya tahan bangsa dan oleh karenanya harus mengambil kebijakan dengan tepat, akurat, dan comprehensive. Tidak boleh berbijak hanya memperhatikan tekanan-tekanan asing dan kepentingan-kepentingan satu sisi semata. Kekuatan bangsa dapat dibangun melalui industri sawit dengan segala produk-produk turunannya.