JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Kehadiran perkebunan sawit mengenalkan petani kepada sistem pertanian modern. Sebagai contoh petani tidak lagi menggunakan pola ladang berpindah seperti sebelumnya.
“Ada perubahan sosial yang bisa dicermati setelah sistem inti plasma berjalan pada era 2000-an. Tadinya petani memakai cara asal-asalan dalam bercocok tanam lalu mengarah intensifikasi,”kata Joko Supriyono, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) dalam Academic Forum on Sustainability, di Jakarta, Selasa (31/1).
Menurut Joko Supriyono, pada tahun 2000-an perkebunan sawit petani dominan dari petani plasma. Kehidupan petani plasma bisa lebih sejahtera karena yang bermitra dengan perusahaan. “Mereka merawat tanaman dengan pemupukan dan memakai alat. Dan tidak lagi berpindah lahan,” jelasnya.
Ditambahkan Joko, petani di luar sistem plasma yang dikenal sebagai petani swadaya mencoba peruntungan dengan membuka lahan sawit. Disinilah masalahnya karena petani swadaya punya keterbatasan modal dan pengetahuan merawat tanaman. Akibatnya, banyak lahan petani memakai bibit asalan.
“Petani swadaya ini lebih struggling karena tidak punya mitra,”imbuhnya.
Dengan perkembangan sawit yang signifikan tercatat sudah 42 persen lahan sawit dikelola petani plasma dan swadaya. “Di dalam negara modern pasti ditopang sektor pertanian yang kuat. Sawit termasuk sektor pertanian kuat. Ini bisa dilihat dari aspek kesempatan kerja dan ekonomi yang tidak terbantahkan,” pungkas Joko.