Pemangku kepentingan industri perkebunan khususnya sawit mendesak Instruksi Presiden Nomor 10/2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru bagi Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut tidak lagi diperpanjang. Alasannya, akan menghambat iklim investasi dan multiplayer effect dari industri sawit di daerah seperti penyerapan tenaga kerja. Kendati di lain pihak, moratorium dinilai berhasil menekan laju deforestasi.
“Siapa bilang, moratorium menyulitkan kegiatan ekonomi Indonesia. Buktinya masih ada pertumbuhan ekonomi nasional diatas 6%. Dan pertumbuhan ekonomi sektor pertanian dan perkebunan tetap tumbuh 3%,” kata Hadi Daryanto, Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan kepada SAWIT INDONESIA.
Ditemui di ruangannya yang berada di lantai 3, Gedung Manggala Wana Bakti, lulusan Studi Kehutanan Institut Pertanian Bogor ini, menegaskan Kementerian Kehutanan akan merekomendasikan supaya moratorium tetap berjalan. Dengan pertimbangan dapat menekan laju deforestasi selama dua tahun berjalan atau tepatnya 2009-2011. Kebijakan moratorium hutan alam dan lahan gambut yang tertuang dalam Inpres Nomor 10/2011 akan habis masa waktunya pada Mei tahun ini.
Menurutnya, moratorium dapat menjaga hutan alam yang di dalamnya termasuk hutan lindung dan hutan konservasi. Kendati, moratorium ini didorong Letter of Intent Indonesia-Norwegia tetapi kesepakatan tadi bukan pertimbangan mendasar. Dalam LoI, Indonesia akan memperoleh hibah US$ 1 miliar apabila dapat memenuhi kesepakatan yang tertuang di dalam LoI. “Kalau bisa, moratorium berlangsung selamanya karena ditujukan bagi kepentingan rakyat pula. Sebenarnya, bonus dari Norwegia itu tidak penting, yang penting hutan terjaga,” ujar Hadi.
M. Romahurmuziy, Ketua Komisi IV DPR, mengatakan DPR sangat mengerti keinginan Kementerian Kehutanan tetapi moratorium sebaiknya tidak menjadi rujukan komitmen Indonesia dalam perjanjian internasional. Kerangka yang digunakan adalah perlindungan hutan secara berkelanjutan. Apabila dasar ini yang digunakan maka parlemen akan meminta peninjauan kembali percepatan penggunaan lahan kritis (degraded forest) dan gambut bagi sektor pertanian.
Menurutnya, efektivitas pelaksanaan moratorium yang akan berakhir tahun ini harus dipertimbangkan pemerintah apakah akan melanjutkan kembali atau tidak kebijakan tersebut. Karena berdasarkan urgensinya tidak terbukti efektif sampai sekarang. Artinya kepentingan masyarakat di sekitar hutan sebagai stakeholder utama harus diutamakan. “Kalau aturan ini dilanjutkan maka masyarakat di sekitar hutan yang paling sengsara karena semestinya dapat menjadi objek utama kemakmuran kebijakan ini,” katanya dalam sebuah diskusi.
Joko Supriyono Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), menjelaskan moratorium izin baru pada hutan primer dan lahan gambut semenjak diberlakukan telah mengakibatkan ekspansi perkebunan sawit melambat sampai 50%. Dari data yang diolah GAPKI, ekspansi sampai tahun 2012 hanya berkisar 220.000 hektare untuk pembukaan lahan baru. Jumlah ini terbilang kecil dibandingkan tiga tahun lalu sampai 400 ribu hektare.
Akibat lain, ada potential loss yang seharusnya dapat menjadi sumber peningkatan ekonomi Indonesia, dari sekitar 120 ribu tenaga kerja yang tidak memperoleh pekerjaan. “Dampak penting adalah kesempatan pembangunan plasma petani tidak terjadi yang membuat 30 ribu keluarga petani tertunda memperoleh lahan plasma,” ujar Joko Supriyono dalam jumpa pers di Kantor GAPKI.
Dari data Kementerian Kehutanan per November 2012, revisi ketiga Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPIB III) , luas lahan moratorium 64.796.237 hektare. Pada, revisi PIPIB II lahan yang terkena moratorium seluas 65.281.892 hektare. Setiap 6 bulan sekali, peta indikatif moratorium ini akan direvisi yang melibatkan pemangku kepentingan terkait.
Isran Noor, Ketua Asosasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi), menegaskan kebijakan moratorium itu bersifat sementara yang sebaiknya tidak perlu dilanjutkan kembali. Karena, dampak negatif yang lebih dirasakan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan untuk lebih maju. “Kendati, ada potensi di wilayahnya yang dapat dikembangkan demi kemajuan perekonomian daerah,” ujar dia.
Kelahiran moratorium, menurut Isran, disinyalir karena Indonesia ingin secara sukarela dalam penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 26%. “ Hal tersebut sulit dilakukan, kalau mau sebaiknya Indonesia menutup semua pabrik dan stop pemakaian kendaraan bermotor. Baru itu bisa emisi 26%,” tegas Isran Noor.
Dibandingkan sisi positif, pada kenyataannya moratorium menimbulkan lebih banyak mudarat. Sebab, menurut Bupati Kutai Timur tersebut, Indonesia telah kehilangan penerimaan negara sampai US$ 3 miliar per tahun akibat berhentinya pengembangan lahan pertanian atau perkebunan.
Kuntoro Mangkusubroto, Ketua Satgas REDD+, menyatakan moratorium selama dua tahun ini pelaksanaannya sudah sangat baik, karena izin baru di atas peta moratorium sudah tidak ada lagi. Seluruh instansi yang terkait moratorium telah bertugas dengan baik seperti Kementerian Kehutanan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Lingkungan Hidup, Badan Pertanahan Nasional, Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional, dan Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional.
Terkait lahan gambut, Supiandi Sabiham, Ketua Himpunan Gambut Indonesia, menjelaskan lahan gambut dapat digunakan sebagai potensi ekonomi sehingga tidak semuanya digunakan bagi kepentingan konservasi. Idealnya, gambut tidak dinilai berat sebelah tetappi berdasarkan kepentingan ilmiah, konservasi, dan manajemen. Jadi, lahan gambut dapat dipakai bagi kepentingan tanaman pangan dan perkebunan sesuai dengan tebal tipisnya gambut tadi.
Lahan terdegradasi
Dari data Kementerian Kehutanan, lahan terdegradasi (degraded land) seluas 35 juta hektare. Menurut Hadi Daryanto, jika dikurangi lahan yang berstatus hutan seluas 8 juta hektare, maka tinggal sekitar 27 juta hektare yang dapat digunakan bagi kepentingan ekonomi. Hal ini dilakukan sebagai upaya mendukung Indonesias yang telah posisinya bagus sebagai investment grade.
“Jadi, teman-teman di GAPKI tidak perlu khawatir sulit dapat lahan untuk perkebunan sawitnya,” papar Hadi.
Ditambahkan Hadi, pada periode dulu pengusaha sawit lebih senang memakai hutan alam yang tidak ada manusianya. Sedangkan, areal terdegradasi biasanya dekat dengan pemukiman masyarakat sehingga merepotkan pelaku usaha dan biayanya lebih mahal. Itu sebabnya, pengusaha lebih senang pakai hutan alam yang sebenarnya disana ada keanekaragaman hayati seperti flora dan fauna yang perlu dijaga.
Joko Supriyono menepis anggapan bahwa pengusaha sawit lebih cenderung memilih hutan alam yang jarang ditempati manusia, karena di hutan alam juga dapat ditemui penduduk. “Jadi, masalah sebenarnya bukan disitu tetapi seperti apa status lahan terdegradasi tersebut,” kata Joko.
Bagi pengusaha, menurut Joko Supriyono, lahan terdegradasi yang non kawasan hutan pasti lebih diprioritaskan. Sebaliknya, lahan terdegradasi yang masuk kawasan hutan tidak akan dipilih karena melanggar regulasi. Kalaupun, ada pelepasan kawasan hutan itupun prosesnya tidak gampang. (bebe/qayuum)