JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Prof Dr Yanto Santosa Guru besar Fakultas Kehutanan IPB menilai kebijakan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tidak pro investasi, terutama pada sektor yang menjadi sumber kehidupan bagi 50 juta rakyat Indonesia yaitu sektor hutan tanaman industri (HTI) dan perkebunan kelapa sawit.
Hal ini terlihat dari munculnya keputusan Kementerian LHK yang mencabuti tanaman akasia di areal konsesi lahan bekas kebakaran milik PT Bumi Andalas Permai (BAP) di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan.
“Saya melihat kebijakan Kementerian LHK cenderung kurang berpihak pada investasi. Kalau bicara pada pencabutan pada tanaman yang sudah ditanam, dalam terminologi kehutanan kurang tepat. Karena, pertama itukan makhluk hidup, kedua dari fungsi lahannya,” kata dia, Rabu (15/2) lalu.
Ia menjelaskan bahwa dari segi fungsi, aturan ini akan menyulitkan pemerintah ketika hendak mengambil alih lahan gambut bekas kebakaran tersebut dengan statusnya sebagai hutan produksi. Sehingga ketika ingin mengubah status lahan itu menjadi hutan konservasi atau lindung membutuhkan waktu dan proses yang panjang. “Jadi kalau alasannya lahan tersebut akan direstorasi, saya mempertanyakan. Berarti itu kan alih fungsi, perubahan fungsi lahan, perubahan Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah (RTRW),” Tambahnya.
Dalam menetapkan status lahan tersebut perlu melalui proses restorasi atau mengembalikan fungsi lahan, namun hal itu tidaklah mudah. Sebab, kata dia, tidak semua lahan yang terbakar itu dipastikan rusak. “Tidak ada jaminan loh, bahwa lahan yang terbakar itu rusak. Jangan mentang-mentang dunia lagi gandrung dengan konservasi, semua harus dikonservasi. Kalau menurut saya sih, selama lahan itu masih bisa digunakan untuk berproduksi ya ditanami saja,” katanya.
Lebih lanjut, ia mempertanyakan aturan lahan kebakaran yang mengharuskan perusahaan penyebab penyebab kebakaran menanggung denda hingga Rp 7,8 triliun, hal ini tidak sesuai dengan aset yang dimiliki perusahaan yang tidak mencapai Rp 1 triliun. Selain itu, aturan denda tersebut juga bertentangan dengan pasal 90 ayat 1 UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No 07/2014 pada ketentuan umum disebutkan bahwa kerugian lingkungan hidup hanya diterapkan ketika terjadi pada lahan publik atau pada ruang publik.
Dengan demikian, ia mengatakan pemerintah tidak bisa seenaknya menuntut pengusaha atas kerusakan lahan konsesi. Sebab, akan banyak kerugian yang mesti ditanggung oleh pemerintah akibat aturan tersebut. Pertama, pencabutan tanaman akasia di lahan seluas 80.000 hektare (ha) tersebut akan mengakibatkan dampak psikologis bagi para pengusaha dan menunjukkan tidak ada kepastian hukum.
Kedua, menurut dia, imbas dari aturan Menteri KLHK akan memundurkan waktu produksi yang sudah dipersiakan beberapa tahun ke depan, yang berarti perusahaan merugi dan kekurangan bahan baku pohon untuk pembuatan bubur kertas. “PT BAP ini bangun pabrik di OKI Rp33 triliun, kalau sekarang supply-nya kurang, berapa kerugiannya? Jangan terlalu simpel dalam melihatnya. Pemerintah harus bijaksana,” tambahnya.
Kerugian lainnya adalah kepercayaan dunia internasional terhadap produk ekspor Indonesia akan menurun dan mengkibakan jumlah devisa negara berkurang. “Pemerintah tidak pernah mempertimbangkan soal ini. Ini beda dengan Malaysia yang seluruh komponennya, selain LSM, bersatu padu membela sawit. Saya tidak memahami pemerintah kita. Kalau devisanya mau, tapi tidak mau membela komoditas yang menghasilkan devisa itu. Dan ini tidak hanya akan terjadi pada HTI, tapi juga pada sawit. Karena lahan bekas kebakaran juga ada yang ditanami sawit,”katanya. (Ferrika)