Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mengapresiasi langkah pemerintah yang bertindak cepat menarik peredaran produk makanan impor berlabel palm oil free. Diharapkan, kasus ini tidak terulang kembali. Kepentingan nasional harus menjadi dasar dalam kebijakan perdagangan untuk melindungi komoditas pertanian domestik.
Joko Supriyono, Ketua Umum GAPKI, mengatakan respon pemerintah sangatlah bagus dan menyadari bahwa produk berlabel bebas minyak sawit (palm oil free) tidak sesuai dengan kepentingan nasional. Penempelan label ini merupakan upaya mendiskreditkan dan menyerang produk minyak sawit.
“Kami, sangat mengapresiasi gerak cepat Menteri Perdagangan yang meminta Badan Pengawasan Obat dan Makanan (POM) RI menindaklanjuti untuk memeriksa ke lapangan terkait beredarnya produk makanan impor berlabel Palm Oil Free,” dijelaskan Joko.
Joko Supriyono meminta pemerintah lebih ketat dan teliti dalam pengawasan produk makanan dari luar negeri yang akan masuk ke Indonesia. Pengertian ketat disini artinya pemberian izin impor produk sesuai kepentingan nasional. Pemerintah tidak boleh tunduk kepada kepentingan perusahaan importir/distributor makanan.
Menurutnya, pelabelan palm oil free tidak punya dasar yang kuat karena terbukti kandungan nutrisi dan vitamin dalam minyak sawit sangat lengkap. Keunggulan minyak sawit bebas dari trans fat dibandingkan minyak nabati lain. Yang menjadi keunggulan minyak sawit adalah stabil dalam temperatur tinggi sehingga cocok untuk digunakan menggoreng makanan. “Sementara minyak non sawit akan rusak dalam temperatur tinggi sehingga bisa mengalami hidrogenasi. Inilah yang menyebabkan trans fat,” ujarnya.
Lebih lanjut, kata Joko Supriyono, Indonesia menjadi pasar utama komoditas pertanian impor termasuk pula produk makanan impor. Serbuan produk pertanian dari negara lain disebabkan suplai domestik mengalami defisit.
“Dapat dikatakan produk makanan yang menjadi kebutuhan masyarakat mengalami kekurangan dan harus dipasok lewat kegiatan. Disinilah, pemerintah punya peranan penting untuk mengutamakan kepentingan nasional,” kata Alumni Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada ini.
Menurut Joko, di lain pihak pemerintah harus melindungi kepentingan produk pertanian di dalam negeri. Makanya, diperlukan strategi nasional dalam mendudukkan masalah impor pangan dan produk makanan yang tidak saja cukup soal ekspor impor atau izin kesehatan. Beberapa kementerian harus duduk bersama dan menyepakati hal tersebut.
Ditambahkan Joko, petani menjadi objek utama dalam melindungi pertanian di dalam negeri. Walaupun, negara kita butuh pangan dari impor lantaran terjadi defisit. Namun, pemerintah tetap harus melindungi komoditas pertanian yang dihasilkan dari dalam negeri.
Joko menyebutkan bahwa Indonesia menjadi negara yang tergantung impor. Hampir semua industri yang ada di Indonesia berbahan baku impor. Industri otomotif bahan bakunya sebagian besar dari impor, industri tekstil, industri baja, dan industri pangan, semua masih impor sampai sekarang. Hingga pembangunan infrastruktur atau pelabuhan bahan baku atau pendukung juga berasal dari impor. “Besarnya angka impor ini yang berakibat defisit neraca perdagangan dan pelemahan rupiah,” ujarnya.
(Lebih lengkap silakan baca Majalah SAWIT INDONESIA Edisi 15 Maret-15 April 2016)