JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Kementerian Pertanian menggulirkan program penggabungan (integrasi) sawit dengan jagung sebagai tanaman sela. Program ini dinilai tidak akan memberikan kontribusi besar bagi peningkatan jagung. Pasalnya, terbatas masa penanaman dan petani maupun perusahaan sawit belum terlatih budidaya jagung.
Andi Amran Sulaiman, Menteri Pertanian, dengan semangat berapi-api menyampaikan keinginanannya untuk mengendalikan impor jagung. Impor ini dinilai bakalan merugikan petani lokal. Salah satu kebijakan yang telah dijalankan dengan menahan 400.00 ton jagung impor yang berasal dari Argetina dan Amerika.
“Jangan sampai harga jagung di petani dibawah Rp 2000/kg, kasihan petaninya, impor harus kita kendalikan. Sudah 2 bulan Jagung impor tersebut terkatung-katung dilaut, dan tidak saya beri izin, ini saya lakukan untuk menyelamatkan petani jagung lokal,” katanya dalam kunjungan kerja Mentan di Desa Koto Baru, Kecamatan Luhak Nan Duo, Kabupaten Pasaman Barat, Provinisi Sumatera Barat, pada akhir Mei.
Dalam kunjungan tersebut, Amran mencanangkan program integrasi sawit dengan tanaman jagung di seluruh Indonesia. Penanaman jagung memanfaatkan program peremajaan lahan yang intensif digerakkan petani sawit.
Bungaran Saragih, Guru Besar Insititut Pertanian Bogor (IPB), mengaku pesimis dengan agenda integrasi jagung sawit dapat menjadi alternatif pemasukan petani sawit. Mengingat, agenda tersebut sudah ada sejak lama tetapi belum terlaksana secara baik dan maksimal. “Sejak sebelum saya menjadi menteri, ide itu sudah ada tapi nggak jalan-jalan. Berarti ada masalah dan cenderung buang-buang waktu,” ungkap Bungaran.
Ditambahkan Mantan Menteri Pertanian Era Abdurrahman Wahid ini, kendala yang dapat menghambat penerapan program tersebut kepada petani plasma Kelapa Sawit. Pertama, pemerintah belum memiliki prosedur pembelian dan pemasok yang mampu menampung hasil produksi jagung petani. “Harus dipikirkan pula bagaimana logistik dan sistem pembeliannya seperti apa. Mereka punya jagung beberapa ton di suatu tempat tapi nggak punya alat pengeringnya. Kan jadi susah. Kemudian siapa yang akan beli jagung mereka,” katanya.
Kedua, petani tidak punya ketrampilan untuk membudidayakan tanaman pangan karena terbiasa mengembangkan tanaman perkebunan. “Mereka nggak tahu bagaimana mengurusnya, itu bukan urusan mereka sebelumnya,” ujarnya.
Seharusnya, kata dia, pemerintahan memberikan pelatihan kepada petani tentang bagaimana melakukan pemupukan, pemakaian bibit unggul, pengairan dan pemberantasan hama secara tepat. Persoalan lainnya, mereka belum memiliki pemasukan tetap hingga masa panen datang. “Jadi pendapatannya belum teratur, bisa saja menurun,” tambahnya.
Anton Supit, Ketua Dewan Pimpinan Harian Asosiasi Pengusaha Indonesia, menyebutkan keberhasilan program tanaman jagung di perkebunan sawit belum dapat diketahui. Pasalnya, tidak ada model budidaya yang sukses dijalankan perusahaan atau petani mana yang minat menjalankannya. “Ini perlu studi lebih detil. Karena kunci keberhasilan pengembangan jagung berada di pasca panen seperti dryer dan silo,” jelasnya.
Timbas Prasad Ginting, Sekretaris Gapki Sumatera Utara, menyebutkan perusahaan kebun akan kerepotan apabila diberikan tugas untuk menanam jagung. Karena butuh tenaga kerja khusus apabila diserahkan kepada masyarakat dikhawatirkan menjadi masalah di kemudian hari
“Jangan-jangan masyarakat bisa menuntut perusahaan supaya mereka disediakan lahan untuk tanam jagung. Ini sebabnya yang membuat perusahaan berpikir panjang untuk terlibat lebih jauh,” paparTimbas.
sumber foto: www.digrowteknologinano.com