Kebijakan moratorium sawit bersifat reaktif dan tidak berkeadilan bagi dunia usaha dalam proses pengajuan berbagai izin usaha perkebunan dan kehutanan selama ini. Aturan ini menyebabkan ketidakpastian bagi pengusaha.
Ricky Avenzora menjelaskan bahwa platform diskusi tentang moratorium sawit berlandaskan kepada lima aspek penting yaitu: a). Hak Pemerintah dalam membuat regulasi, b). Amanah Pasal 33 UUD-45 c). Fakta dan data yang valid serta objektif yang menjadi dasar munculnya kebijakan moratorium, d). Karakteristik dan subtansi dari kebijakan moratorium yang diberlakukan, serta e). Efektifitas dan dampak dari kebijakan moratorium yang diberlakukan.
Menurut Ricky, tidak ada keraguan dan bantahan mengenai hak pemerintah untuk membuat regulasi dan kebijakan pembangunan. Di satu sisi Hak Pemerintah harus dihormati, namun di sisi lain, kita semua juga punya hak untuk memastikan bahwa kebijakan tersebut tidak melanggar Pasal 33 UUD 1945.
“Semua kebijakan dalam membangun setiap jengkal bagian bumi, air dan kekayaan alam yang dikandung di dalamnya haruslah dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” kata Ricky.
Dalam hal ini, menurutnya, perputaran roda ekonomi dari pembangunan tersebut harus diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi, dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan kemandirian serta mampu menjaga keseimbangan kemanjuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Sebelum moratorium berjalan, kata Ricky, telah menjadi rahasia umum bahwa hingga detik ini pemerintah tidak lah mempunyai data yang valid dan komprehensif tentang permasalahan yang sesungguhnya terjadi di sektor kehutanan dan perkebunan. Kebijakan “Single Map Policy” yang dibangga-banggakan sesungguhnya bukanlah dilahirkan oleh Kabinet Kerja melainkan telah diluncurkan sejak zaman Pemerintahan Presiden SBY.
Mestinya Kabinet Kerja “eling” mengapa kebijakan tersebut huingga saat ini hanya “duduk manis” dalam posisi “lip-service” dan “policy jargon”. Padahal, realitas nya adalah nol besar,” ujarnya.
Oleh karena itu, menurut Ricky, rakyat bisa menuntut Kabinet Kerja untuk membeberkan penyebab kegagalan “Single Map Policy” yang tidak pernah berhasil diurai dan tidak sekalipun secara objektif pernah disampaikan ke depan publik secara terbuka. Ada nya kata “indikatif” pada berbagai produk “Single Map Policy” yang beredar selama ini adalah bukti nyata bahwa semua informasi tersebut adalah belum bersifat final dan patut diragukan kebenarannya serta validitasnya.
Untuk itu, Kabinet Kerja tidak boleh berpuas diri dengan berbagai “jargon kebijakan” yang “di-recycling” oleh pejabat KLHK.Ricky meminta Presiden Jokowi juga tidak boleh membiarkan pejabat dan oknum KLHK untuk terus menerus “mencuci tangan” serta mencari “kambing hitam” atas rendahnya kompetensi serta kinerja mereka selama ini dalam penyelesaian berbagai masalah di Sektor Kehutanan dan Perkebunan.
Pasalnya, data yang tampil di permukaan hanyalah data-data LSM-hipokrit yang memang “diframing” untuk menyudutkan para pemangku kepentingan baik para pengusaha maupun pemerintah itu sendiri. Lebih lanjut, kata Ricky, impotensi kinerja dan integritas pejabat dan oknum KLHK telah dimanfaatkan LSM-hipokrit untuk “mempaido” pemerintah agar mau melahirkan kebijakan yang menghancurkan pembangunan dan pengusahaan sektor kehutanan dan perkebunan di Indonesia.
(Ulasan lebih lengkap baca Majalah SAWIT INDONESIA Edisi 15 Juli-15 Agustus 2016)