Dengan luas perkebunan sawit lebih dari 660 ribu hektar dan produksi CPO mencapai 1,5 juta ton per tahun, lalu bagaimana pelaku perkebunan sawit di Jambi melakukan praktik-praktik berkelanjutan? Serta apa dampaknya dan tantangannya?
Tugiran, Kepla Desa Mekar Jaya Kecamatan Tabir, Kabupaten Merangin, Jambi terlihat bangga ketika berpidato menerima rombongan wartawan dalam gelaran RSPO Press Circle II di Jambi pada Mei lalu. Sebab di Desa Mekar Jaya salah satu kelompok petani swadaya berhasil memperoleh sertifikat Roundtable of Sustainable Palm Oil (RSPO) yaitu Gabungan Kelompok Tani Tanjung Sehati.
“Meski diakui pihak desa memang tak terlalu banyak berkontribusi terhadap Gapoktan, karena memang terbatasnya dana. Tapi berkat dukungan Setara dan keinginan kuat dari Gapoktan sehingga berhasil mendapatkan sertifikat RSPO,” ungkap Tugiran.
Gabungan Kelompok Tani Tanjung Sehati mulanya diinisiasi untuk kegiatan perbaikan jalan dari enam kelompok tani setelah kesemuanya menerima sertifikat RSPO pada 2014. Anggota Gapoktan berjumlah 214 orang dengan total kepemilikan lahan seluas 316,57 hektar. Dalam satu tahun, produksi TBS sebanyak 5.500 ton.
Jalal Sayuti Ketua Gapoktan Tanjung Sehati menjelaskan meski baru berdiri resmi pada 2009, sebenarnya Tanjung Sehati telah memulai diperkenalkan praktik budidaya sawit berkelanjutan sejak 2009 dengan didampingi oleh Yayasan Setara Jambi.
Sejak saat itu, Gapoktan Tanjung dan Yayasan Setara Jambi kerap melakukan pelatihan terkait budidaya perkebunan sawit berkelanjutan, manajemen organisasi, hingga membentuk koperasi dengan beragam unit usahanya. Hingga pada 2013 Tanjung Sehati mengajukan proposal untuk disertifikasi RSPO.
“Menuju sertifikasi kita banyak merubah cara pengelolaan kebun seperti pencatatan panen, pupuk pestisida, terus mengenai keselamatan kerja, tidak boleh membawa anak untuk kerja di kebun. Dan itu cukup sulit, banyak petani yang mengeluh kepalanya sakit karena memakai helm di kebun, pelepah juga sebelumnya diletakkan sembarang kini mulai disusun rapih,” jelas Jalal Sayuti.
Meski sulit, menurut Jalal budidaya yang berkelanjutan harus dilaksanakan oleh mereka. Sebab selain sebagai upaya penangkal tudingan-tudingan buruk yang kerap ditujukan kepada petani sawit, praktik berkelanjutan juga memberikan kemudahan di berbagai aspek.
“Tentu banyak manfaat yang kita dapat setelah kita dapat RSPO walaupun bukan dari segi harga secara langsung. Terutama dari PKS, kita sering dapat pelatihan dari perusahaan, dan kalau PKS tersebut sudah tersertifikasi RSPO, jika dibandingkan dengan swadaya yang lain buah dari kita yang sudah tersertifikasi pasti diutamakan,” papar Jalal.
Dosen Universitas Jambi Rosyani pernah melakukan penelitian tentang bagaimana dampak sertifikasi RSPO yang diterima oleh Gapoktan Tanjung Sehati. Hasil penelitiannya menunjukan memang terjadi peningkatan aspek ekonomi meskipun tidak secara langsung berasal dari harga TBS. “Dengan organisasi yang kuat, dan praktik budidaya yang berklenjutan tentu memberikan multiplier effect dari aspek ekonomi,” ungkap Rosyani.
Ada tiga hal yang disebut Rosyani sebagai indikator peningkatan ekonomi tersebut yaitu struktur ekonomi yang meningkat, pola konsumsi produksi, dan transportasi yang saling berkelindan satu sama lain.
Rosyani mencontohkan mulai dari aspek budidaya, sebelumnya petani memanen TBS tak teratur sehingga hasil yang didapat pun tidak maksimal sebab TBS yang dipanen terlalu matang atau bahkan masih mentah. Setelahnya, dengan jadwal panen yang baik ditambah dengan aplikasi Good Agricultural Practice (GAP), TBS yang didapat pun bisa optimal. (Anggar S)