Pelaku sawit jangan terjebak permainan standar Indonesian Palm Oil Pledge (IPOP). Ikrar ini tidak menguntungkan malahan mengadu domba. Ada kepentingan Amerika di balik IPOP.
Ricky Avenzora, Dosen Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, menyebutkan bahwa dalam konteks legalitas sangat sulit untuk menemukan dimana letak legalitas IPOP. Yang sebenarnya terjadi adalah pengusaha yang terlibat IPOP adalah “korban” dari gerakan politik lingkungan yang diorganisir oleh USA.
“Telah menjadi rahasia umum bahwa Duta Besar Amerika Serikat di Jakarta ikut berperan untuk menekan para pengusaha yang tergabung dalam IPOP,” kata Ricky kepada SAWIT INDONESIA.
Omongan Ricky boleh jadi benar. Kedutaan Besar Amerika Serikat melalui United States Agency for International Development (USAID) bekerjasaa dengan IPOP untuk membentuk payung Aliansi Sawit Lestari Indonesia pada September 2015. Kerjasama ini bertujuan memperkuat dan mendukung pembangunan ekonomi hijau sekaligus melindungi keanekaragaman hayati Indonesia.
Penandatanganan kerjasama dihadiri oleh H.E. Ambassador Robert Blake, Duta Besar Amerika Serikat bersama sejumlah perwakilan dari KADIN INDONESIA Shinta Widjaja Kamdani , Monica Tanuhandaru, Executive Director Partnership for Governance Reform Indonesia dari Kemitraan, Nurdiana Darus, Executive Director IPOP dan para anggota IPOP, Andrew Sission (Mission Director USAID) organisasi-organisasi terkait pembangunan global seperti (Global Development Alliance/GDA).
Robert Blake menyebutkan bahwa IPOP adalah langkah berani sektor swasta sawit di Indonesia yang jarang ditemukan di negara lain di seluruh dunia. “Kami dengan tegas menyatakan dukungan agar program-program yang telah disusun oleh IPOP dapat berjalan dengan baik ke depannya,” ujarnya seperti dikutip dari laman palmoilpledge.id.
Dukungan Amerika Serikat kepada IPOP tidaklah mengejutkan. Pasalnya sehari setelah penandatanganan ikrar IPOP oleh empat grup kelapa sawit, keluar pernyataan dari Office of The Spokesperson, U.S Departement of State, Amerika Serikat pada pada 25 September 2014. Dalam pernyataannya disebutkan bahwa Amerika Serikat menyambut baik penandatanganan IPOP dan berjanji akan mengawasi implementasinya.
IPOP juga mendapatkan sambutan baik dari organisasi masyarakat sipil. Seperti dikatakan Monica Tanuhandaru, Executive Director Partnership for Governance Reform Indonesia dari Kemitraan bahwa lembaga masyarakat sipil menyambut baik kerja sama IPOP dan USAID. “IPOP punya misi yang sama untuk membantu masyarakat mendapatkan hak-hak mereka, maka masyarakat sipil akan berkompromi dan mulai membuka pintu untuk bekerja sama lebih lanjut,” ujarnya.
Ricky Avenzora meminta pelaku sawit lebih kritis terhadap IPOP. Pasalnya, isu kartel dalam IPOP semestinya dapat dimengerti sebagai “target antara” yang memang diciptakan oleh Amerika dalam menghancurkan industri sawit di Indonesia.
“Melalui isu kartel tersebut Amerika (dan para LSM-hipokrit yang menjadi antek-anteknya) berharap semua pihak akan menekan para pengusaha yang terlibat,” kata Ricky.
Dengan begitu, kata Ricky, pemerintah akan mempinalti pengusaha atas isu kartel. Skenario lainnya adalah pengusaha dalam IPOP bisa diserang dan dihancurkan melalui konflik sosial akibat timbulnya gesekan di mata rantai suplai CPO terutama dengan petani.
Khudori, Pengamat Pertanian, dalam opininya di Koran Harian Kompas Edisi Sabtu (30/4), menjelaskan bahwa IPOP adalah kesepakatan korporasi yang sejatinya tidak bisa mengatur Indonesia. Karena negara ini berdaulat yang memiliki hak mutlak mengatur proses pembangunan. Tak satu pun negara ataupun lembaga internasional, apalagi LSM, boleh mengintervensi kebijakan di Indonesia.
Pertimbangan lain, menurut Khudori, perusahaan penandatangan IPOP punya pangsa pasar 70 persen CPO Indonesia. IPOP yang difasilitasi dan didukung AS patut diduga merupakan bagian dari skenario proxy war dan bentuk neoimperialisme.
Lebih lanjut kata Ricky, fakta yang ada menunjukan bahwa IPOP sama sekali tidak membawa keuntungan kepada pengusaha yang terlibat, bahkan sesungguhnya IPOP telah menjadi disinsentif bagi mereka.
Di satu sisi, pengusaha yang terikat dalam IPOP mempunyai tanggungan beban finansial dan sosial atas berbagai SOP yang diwajibkan dalam IPOP. Sedangkan di sisi lain tidak ada added-value atas harga pada produk mereka bahkan mereka harus bersaing dengan produk dari negara lain yang tidak terikat aturan IPOP dan bahkan tidak mempunyai standar sustainability.
(Selengkapnya baca Majalah SAWIT INDONESIA Edisi 15 Mei-15 Juni 2016)