Kebijakan Perdagangan Internasional
Uraian Masalah/Argumentasi
Kebijakan pembatasan ekspor minyak sawit dengan berbagai intrument (quota, pajak ekspor/bea keluar) telah berlangsung hampir 40 tahun. Semula kebijakan pembatasan ekspor minyak sawit dimaksudkan untuk mengendalikan harga minyak goreng domestik, kemudian bergeser untuk tujuan penerimaan negara dan hilirisasi. Kebijakan yang terakhir adalah kebijakan bea keluar bagi CPO dan produk turunannya (PMK; 128/2011). Kebijakan bea keluar tersebut besarnya bea keluar hanya ditetapkan berdasarkan harga CPO internasional (juga menetapkan batas bawah harga CPO tidak dikenakan bea keluar) yang dikenal dengan Harga Patokan Ekspor (HPE). Berbagai studi (Manurung, 1993; Tomich dan Mawardi, 1995; Larson, 1996; Susila, 2004; Zulkifli, 2000; Obado, et.al, 2009) yang mengungkapkan bahwa kebijakan pembatasan ekspor tersebut secara netto merugikan Indonesia. Kebijakan tersebut menguntungkan industri hilir dan penerimaan pemerintah, akan tetapi merugikan perkebunan kelapa sawit. Jika kebijakan tersebut disertai dengan penurunan tingkat suku bunga kredit akan dapat mengkompensasi kerugian perkebunan kelapa sawit tanpa merugikan industri hilir, pemerintah dan konsumen (PASPI, 2014).
Salai itu penetapan tarif bea keluar hanya berdasarkan harga CPO internasional dinilai juga kurang tepat karena tidak memperhitungkan tarif bea keluar negara produsen CPO lainnya, tarif impor CPO negara pengimpor, pergerakan krus rupiah maupun pergerakan krus mata uang negara-negara pengimpor CPO utama. Hal ini menyebabkan CPO Indonesia kalah bersaing dengan CPO Malaysia dan minyak nabati lainnya.
Sumber : GAPKI