Pengunaan biodiesel minyak sawit sebagai penganti diesel (fossil-fuel) juga menurunkan emisi GHG sebesar 62 persen dari emisi GHG diesel. Pengurangan emisi GHG tersebut lebih besar pada minyak sawirt dibandingkan minyak nabati lainnya. Hal ini berarti semakin besar blending biodiesel minyak sawit dalam konsumsi diesel global, semakin berkurang emisi GHG global. Sebagian besar produksi CPO Indonesia dipasok keseluruh negara dunia. Jika minyak sawit tersebut digunakan sebagai biodiesel untuk mensubsitusi fossil-fuel (khususnya di negara-negara yang konsumsi fossil-fuel tinggi seperti Uni Eropa, USA, dan negara lainnya) akan mengurangi emisi CO2 global. Pengantian fosil-fuel (diesel) dengan palm oil diesel dapat mengurangi 62 persen emisi CO2 , dibandingkan diesel.
Dengan demikian, perkebunan kelapa sawit merupakan bagian solusi dari upaya mengurangi peningkatan emisi CO2 global melalui dua cara, yakni: Pertama, menyerap CO2 dari atmofir bumi (dari emisi yang dihasilkan masyarakat dunia); dan Kedua, mengurangi emisi CO2 global melalui subsitusi diesel (fossil-fuel) denga palm oil diesel.
Secara ekofisokologis sebagai indikator bahwa ekofisilogi hutan mirip dengan karakteristik perkebunan kelapa sawit. Dari fungsi tata air misalnya (evapotranspirasi, cadangan air tanah, penerusan curah hujan, laju infiltrasi dan kelembaban) hutan tropis sama dengan perkebunan kelapa sawit. Keunggulan hutan tropis adalah dalam hal stok karbon (total biomass) yang mencapai empat kali lipat dari stok karbon pada perkebunan kelapa sawit. Tingginya stok karbon pada hutan tersebut mencerminkan besarnya volume biodiversity hutan. Oleh karena itu hutan difungsikan terutama sebagai pelestarian biodiversity dan penyimpanan stok karbon.
Sumber : Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, MEc