Pangsa pasar produk sawit di Pakistan telah dikuasai Indonesia sebesar 80%. Buah diplomasi dan kerjasama bilateral melalui Preferential Trade Agreement (PTA) Indonesi-Pakistan.
Sepuluh tahun lalu, Indonesia selalu berada di bawah Malaysia dalam urusan ekspor sawit ke Pakistan. Kala itu, pelaku sawit sadar tanpa kerjasama bilateral antara Indonesia dengan Pakistan, maka produk Indonesia sulit bersaing. Malaysia sukses menembus Pakistan lantaran kerjasama bilateral sehingga mendapatkan kemudahan tarif masuk.
“Kerjasama bilateral menjadi kunci utama menguasai ekspor. Setelah Indonesia menandatangani Preferential Trade Agreement (red-PTA) dengan Pakistan, ekspor sawit tumbuh. Sangat efektif PTA ini,”kata Joko Supriyono, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), dalam lawatan ke Pakistan di awal September 2018.
Joko menambahkan Pakistan salah satu pasar yang besar dan jelas ketimbang negara tujuan ekspor lain negara Afrika yang tergolong pasar non tradisional. Kerjasama PTA sangat efektif sejauh ini. Dalam PTA, skema mengatur komoditas tertentu dan jelas seperti kode harmonized system (HS) yang disetujui dan/atau hanya tukar menukar tarif. Tapi urusan skema free trade agreement (FTA) masih dimungkinkan untuk diperluas ke dalam hal lain seperti sektor jasa dan investasi. “Pakistan tidak menuntut apa-apa, cuma ingin agar kita investasi di sana,” ujarnya seperti dilansir dari laman bisnis.com.
Sebagai catatan, Preferential Trade Agreement (PTA) antara Indonesia dengan Pakistan sejak 2012. Hasil dari kerjasama bilateral ini adalah Indonesia menguasai sekitar 80% pasar minyak sawit di negara Asia Selatan itu, sisanya 20% dikuasai Malaysia.
“Ada dua hal yang kita lihat. Pakistan memiliki jumlah penduduk yang besar dan akan terus bertambah. Selain itu konsumsi minyak nabati per kapitanya juga masih rendah,” ujar Joko Supriyono.
Konsumsi minyak nabati Pakistan rerata 14-15 kg/kapita/tahun. Memang angka ini masih di bawa Indonesia yang mencapai 21 kg/kapita/tahun atau India yang sekitar 23 kg/kapita/tahun. “Jadi tinggal bagaimana kita bisa berkompetisi dengan produk yang lain, seperti minyak kedelai atau lainnya,” tuturnya.
Bagi Indonesia, Pakistan menempati urutan keempat ekspor sawit Indonesia setelah India, Uni Eropa, dan Republik Rakyat Tiongkok. Adapun kontribusi Pakisatan terhadap nilai ekspor sawit Indonesia sebesar US$ 2 miliar atau hampir 10%., dari total ekspor yang mencapai US$ 22,9 miliar pada 2017. Keunggulan negara ini terletak dari populasi penduduk sebanyak 207 juta jiwa. Alhasil berdampak langsung kepada pertumbuhan minyak nabati di Pakistan termasuk minyak sawit.
“Pada tahun 2010-2012 kita menguasai 20% pangsa pasar sawit Pakistan. Namun, pasca preferensial tariff agreement (PTA) yang efektif pada 2013, terbukti pangsa pasar melonjak 80%. Usul kami supaya PTA ditingkatkan menjadi free trade agreement (FTA) sehingga memperkuat hubungan dagang kedua negara,” tambah Joko.
Kehadiran Joko Supriyono dan pengurus GAPKI dalam rangka Conference and Exhibition on Indonesian Palm Oil (CEIPO) 2018 di Karachi, Pakistan, pada 6 September 2018. Kegiatan tersebut terdiri dari seminar dan pameran di sektor minyak sawit yang diselenggarakan secara bersamaan dalam satu hari. Hadir sebagai pembicara adalah Duta Besar RI untuk Republik Islam Pakistan, Y.M. Iwan Suyudhie Amri; Konsul Jenderal RI Karachi, Totok Prianamto; Direktur Eksekutif Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Dono Boestami; Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Bapak Joko Supriyono; Puspo Edi Giriwono, Ph.D. dari Institut Pertanian Bogor (IPB), serta beberapa pembicara dari kalangan swasta Pakistan.