Kesejahteraan anggota dapat terlihat dari kestabilan roda ekonomi dan pendidikan anak-anak pekebun yang lulus perguruan tinggi.
Dampak positif perkebunan kelapa sawit terus dirasakan oleh masyarakat diempat desa (Karyasakti, Beliti Jaya, Petrans Jaya dan Karya Mukti) yang tergabung dalam KUD Sadar Sejahtera. Kesejahteraan anggota dapat terlihat dari kestabilan roda ekonomi dan pendidikan anak – anak pekebun yang ditempuh hingga saat ini tidak sedikit yang melanjutkan dan lulus dari perguruan tinggi.
Hal tersebut disampaikan Arman Fahmi Ketua KUD Sadar Sejahtera dari Desa Beliti Jaya, Kecamatan Muara Kelingi, Kabupaten Musi Rawas – Sumatera Selatan, melalui sambungan telepon, beberapa waktu lalu.
Dijelaskan Arman, perkebunan kelapa sawit yang ada di daerah kami, dampaknya sangat besar bagi masyarakat (pekebun) terutama bagi anggota KUD Sadar Sejahtera.
“Sebagai penunjang ekonomi anggota, harapan kami harga TBS sawit tidak dibawah rata-rata provinsi. Dampaknya sangat dirasakan anggota, terutama bagi anggota yang memiliki angsuran kendaraan sepeda motor. Maka akan kesulitan untuk menyisihkan uang untuk membayar kewajiban angsuran. Sebab, hasil dari sawit baik pekebun plasma sangat menentukan ekonomi anggota,” jelas Arman.
Menurut Arman, tidak keliru pemerintah mengatakan bahwa peran perkebunan kelapa sawit berkontribusi besar dalam perekonomian nasional.
“Kami saja sebagai orang transmigrasi, ketika perkebunan kelapa sawit mulai dibuka dan dikelola oleh perusahaan sudah langsung merasakan dampaknya. Saat itu, sekitar tahun 1995 ketika perusahaan perkebunan kelapa sawit membuka lahan, banyak lowongan pekerjaan,” ungkapnya.
“Sebelum ada perusahaan perkebunan kelapa sawit, warga di sekitar sini banyak yang meninggalkan desanya untuk mencari nafkah ke kota maupun ke desa lain. Tapi, setelah ada perusahaan membuka dan mengelola lahan sawit, banyak yang Kembali kedesa untuk bekerja di perusahaan perkebunan kelapa sawit,” imbuh Arman mengenang masa lalu.
Arman dan wargaempat yang tergabung di KUD Sadar Sejahtera dapat dikatakan sebagai saksi sejarah perkembangan masyarakat yang mendapatkan dampak positif dari perkebunan kelapa sawit, baik yang dikelola perusahaan dan plasma.
“Kami ini orang-orang transmigran, jadi tahu persis perkembangan ekonomi masyarakat yang bermukim di desaini. Saatitu, setelah berusaha menggarap lahan dari jatah hidup yang diberikan pemerintah belum bisa memberikan manfaat karena belum ada hasilnya. Bahkan, sering gagal panen, tanam padi dimakan Gajah, tanam karet berpotensi kebakaran kalau musim kemarau,” kata Arman kembali mengenang.
Sawit penggerak roda ekonomi
Sekitar tahun 1995, mulai ada perusahaan perkebunan sawit (perusahaan inti) mulai membuka lahan sawit dan membuka peluang kerja. Selanjutnya, dalam perkembangannya perusahaan perkebunan mulai mengembangkan kemitraan (plasma). Dan, membutuhkan tenaga kerja untuk mengelola, kondisi tersebut menjadi peluang kerja bagi warga.
“Bahkan, yang dulunya sempat merantau kekota atau kedesa lain kembali pulang untuk bekerja di perusahaan sawit dan kebun plasma yang mulai dibuka sekitar 1997-1998,” kata Arman.
“Maka, sejak ada perkebunan kelapa sawit roda ekonomi mulai bergerak. Maka dapat disimpulkan sawit sangat berperan dalam perekonomian masyarakat di desa-desa yang ada perusahaan dan kebun sawit (plasma) karena mampu menyerap tenaga kerja. Yang dampaknya warga memiliki upah dari hasil kerja di kebun inti dan plasma,” sambungnya.
Sejak adanya perkebunan inti dan plasma, roda ekonomi masyarakat mulai bergerak. Meski saat itu hanya cukup untuk mencukupi kebutuhan ekonomi sehari-hari, tetapi masyarakat sudah tidak lagi merasakan kesulitan dalam memenuhinya. Warga yang bekerja di kebun kelapa sawit mendapatkan upah dan mendapatkan jatah dari hasil kemitraan yang diterima setiap bulannya.
(Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Sawit Indonesia, Edisi 148)