Bisnis sawit yang berkelanjutan dapat dimulai dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Paling utama menjaga kepercayaann dan menjalankan program kerja sesuai rencana.
Perlu waktu 12 tahun lamanya, bagi Hilda serta suami untuk membangun perusahaan perkebunan kelapa sawit. Padahal, pasangan suami istri ini telah dikenal sebagai trader CPO, di PT Kharisma Pemasaran Bersama (KPB) PTPN. Hilda Handayani, Direktur Human Resources-General Affair PT Sinar Reksa Kencana, mengatakan sebenarnya sudah semenjak lama mengetahui seluk beluk CPO karena sering mengikuti tender di KPB PTPN.
Selain itu, sempat pula melakukan usaha titip olah TBS ke pabrik kelapa sawit milik PTPN VII di Lampung. Bisnis lain yang digelutinya adalah trading gula melalui PTPN.
“Lalu, saya dan suami mulai berpikir untuk mengembangkan usaha perkebunan sawit sendiri. Karena selama ini lebih banyak berdagang CPO milik orang lain. Paling utama, masa depan bisnis sawit lebih menjanjikan,” kata Hilda tersenyum.
Mulai tahun 2005, Hilda Handayani mengurus berbagai macam persiapan untuk membuka kebun sawit. Lahan yang diperolehnya pertama kali berlokasi di Indragiri Hulu, Riau seluas 14 ribu hektare. Status lahan ini masih lahan kosong (green field) yang proses perizinannya mulai dari bupati, dilanjutkan kepada Badan Planologi ,Kementerian Kehutanan. Lulusan Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI) ini, sangat paham masalah legalitas harus dilengkapi supaya mendapatkan status kebun ke depannya menjadi clean and clear.
Sebelum membuka kebun, rencana pembukaan lahan sawitnya disosialisasikan kepada masyarakat setempat. Langkah ini diambil, menurut Hilda Handayani, demi membangun komunikasi yang baik dengan masyarakat. Dalam sosialisasi ini dijelaskan tujuan utama perusahaan adalah membangun kebun sawit. Anggapan masyarakat setempat, perusahaan hanya ingin mengambil kayu lalu lahan ditinggalkan begitu saja. Namun, Hilda Handayani beserta tim menepis pandangan tersebut.
Langkah konkrit ditunjukkan perusahaan. Setelah, pembukaan lahan selesai diteruskan dengan kegiatan pembibitan. Baru selanjutnya dengan penanaman bibit sawit di lapangan. Tahapan kegiatan yang dilakukan perusahaan ini melunakkan hati masyarakat. “Akhirnya, mereka pun dapat menerima kehadiran perusahaan kami,” papar Hilda.
Supaya dapat bekerjasama dengan masyarakat, alokasi lahan plasma juga dipersiapkan. Sesuai dengan regulasi yang diatur pemerintah dan dapat menyakinkan masyarakat pula. Dari pengalamannya, menanamkan rasa percaya kepada masyarakat butuh waktu lama. Dan perusahaan harus konsisten menjaganya.
Di tahun ini, sudah ada lahan perkebunan sawit perusahaan yang masuk status Tanaman Menghasilkan (TM). Total luas lahan tertanam yang dimiliki perusahaan mencapai 4.500 hektare. Tak hanya di Riau, PT Sinar Reksa Kencana memiliki lahan sawit di Sulawesi seluas 30 ribu hektare.
Sebagai perusahan yang baru mengembangkan perkebunan sawit, Hilda Handayani menerapkan penanaman lahan yang terencana. Itu sebabnya, dia berupaya membuat program yang terencana dari tahun ke tahun. Faktor lain yang dipertimbangkan adalah melihat animo masyarakat untuk menjalin kerjasama dengan perusahaan. Legalitas lahan juga menentukan kegiatan penanaman.
Hilda Handayani menjelaskan tantangan pengembangan bisnis sawit di daerah yaitu kebijakan otonomi daerah karena seringkali muncul peraturan daerah baru yang dibebankan kepada pelaku usaha. Hal inilah yang menyulitkan usaha di daerah sulit berkembang. Itu sebabnya, dia mengusulkan kalangan pelaku usaha diajak urun rembug sebelum regulasi baru keluar.
Terus belajar dan mau bertanya kepada pelaku sawit lain merupakan kunci utama pengelolaan perusahaan. Menurut Hilda, hal ini mesti dilakukan karena dirinya berupaya memahami manajemen perkebunan sawit. Tak hanya itu, dia pun rajin membaca referensi dan buku yang berkaitan dengan sawit. “Belajar dari teman yang memiliki kebun sawit lalu berdiskusi juga dapat dilakukan untuk menambah pemahaman saya,” ujarnya.
Bergelut dengan industri sawit semenjak 1993 membuat Hilda paham resiko bisnis ini. Kendati demikian, dia memegang prinsip tidak mau gagal hanya untuk sekadar mencoba bisnis ini. Oleh karena itu, dirinya bersama suami dan jajaran karyawannya membangun bisnis dengan serius.
Untuk mengelola lahan sawit, Hilda berupaya memperkuat manajemen sumber daya manusia di perusahaan. Lantaran, karakter dan masalah yang dihadapi karyawan di masing-masing daerah sudah pasti berbeda. Sebagai contoh, perusahaan berupaya memenuhi tenaga kerja harian di perkebunan Riau dengan mengambil pekerja yang berasal dari Nias.
“Dapat dikatakan, industri sawit ini bagus sekali karena menyerap tenaga kerja dalam jumlah banyak,” kata Hilda.
Dengan adanya aturan yang berencana membatasi kepemilikan lahan sawit dalam satu grup, Hilda mengharapkan supaya pemerintah mengkaji aturan ini. Pasalnya, tanpa aturan inipun pelaku usaha sudah kesulitan mencari lahan. Nantinya, perusahaan sawit akan lebih mengoptimalkan landbank yang dimilikinya. Pemerintah juga diminta lebih bijak untuk pemberlakuan regulasi tadi karena pengurusan izin lahan perlu waktu lama. Sehingga, hadirnya peraturan pembatasan kepemilikan lahan diperkirakan dapat mempengaruhi izin dimiliki pelaku.
Menurut Hilda, wilayah Indonesia timur menjadi lahan potensial untuk dapat dikembangkan. Saat ini, perusahaan sudah mempunyai lahan seluas 30 ribu hektare di Sulawesi. Berbeda dengan di Riau, proses menyakinkan masyarakat di Sulawesi bahwa kelapa sawit menguntungkan dilakukan dengan studi banding. Umumnya, masyarakat disana lebih mengenal padi dan kakao sebagai tanaman pertanian utama. Setelah melihat langsung kondisi perkebunan sawit di Riau, masyarakat pun setuju dengan pengembangan sawit perusahaan. “Jadi, setelah masyarakat tahu kondisi petani plasma di Riau membuat mereka tertarik berbudidaya sawit,” kata Hilda.
Sebagai trader dan pengusaha perkebunan, Hilda Handayani menyayangkan harga CPO internasional masih berpatokan kepada Malaysia. Meskipun, Indonesia telah menjadi produsen utama CPO dunia. Menurutnya, Bursa Malaysia dapat menjadi referensi harga CPO karena sudah dapat mengolah CPO sampai kepada produk hilir. Oleh karena itu, Indonesia sudah sebaiknya mengembangkan produk turunannya tetapi dukungan pemerintah sangatlah dibutuhkan.
Walaupun sibuk mesti mengurus pekerjaan di kantor maupun berkunjung ke kebun. Hilda Handayani tetap menjalankan kodratnya sebagai istri dan ibu rumah tangga. Untungnya, bukan hal sulit bagi Hilda Handayani mengatur waktu antara kerja dan mengurus anak. Apalagi, perusahaan yang dijalaninya ini bersama dengan suami sehingga mudah berbagi waktu. (Qayuum Amri)