NUSA DUA, SAWIT INDONESIA – Harga minyak sawit (CPO atau Crude Palm Oil) diperkirakan akan bergerak naik dari harga tahun ini, menjadi berkisar antara US$ 600—US$ 800 per ton di tahun depan. Prediksi kenaikan harga ini menyusul pemerintah Indonesia memberlakukan mandatori B15 tahun ini.
“Progam mandatori biodiesel di Indonesia menjadi kunci utama kenaikan harga CPO pada 2016. Dengan kenaikan serapan CPO untuk biodiesel jelas akan mengurangi suplai minyak sawit di pasar global,” kata Dorab Mistry, Analis Godrej International Ltd, pada Konferensi Kelapa Sawit Indonesia (IPOC) 2015, di Bali, 27 Nopember 2015.
Kenaikan harga minyak sawit 2016, prediksi Dorab, juga akan disumbang oleh terjadinya stagnasi volume produksi. Faktor utama penghambatan pertumbuhan volume produksi tahun depan adalah adanya El Nino yang terus berlanjut.
“Kalau sebelumnya diperkirakan terjadi pertumbuhan volume produksi sebesar 2,5 juta ton, saya merevisi menjadi satu juta ton,” kata Dorab.
Secara keseluruhan, kata Dorab Mistry, akan terjadi ketidakseimbangan pertumbuhan suplai dan permintaan minyak nabati pada tahun depan. Berdasarkan datanya, diperkirakan pertumbuhan suplai minyak nabati 3,1 juta ton dan pertumbuhan permintaan 5 juta ton.
“Dengan kondisi seperti ini dapat menguntungkan minyak sawit dari aspek harga,” ujarnya.
Dorab memproyeksikan harga CPO sekitar RM 2.600 untuk tahun depan. Perkiraan harga sebesar ini bisa terwujud apabila harga minyak mentah brent pada level US$ 60 per barel.
Sementara itu, prediksi Dorab, apabila mandatori tidak berjalan baik maka harga CPO di bawah level US$ 600 dolar.
“Saya merekomendasikan bagi investor untuk membeli perusahaan sawit dengan manajemen perkebunan baik. Dan bagi perusahaan sawit bisa mengembangkan kepada bisnis pengolahan makanan dan mengembangkan industri hilir,” ujarnya.
Thomas Mielke, Analis Harga Oilworld, menyebutkan harga CPO mulai bergerak naik dimulai Agustus tahun 2015 ketika mandatori biodiesel diimplementasikan Indonesia. Pasar minyak sawit global kembali bergeliat walaupun konsumen utama CPO seperti Tiongkok dan India mengurangi pembelian minyak sawit.
“Pergerakan harga juga dipengaruhi ketidakpastian suplai sebagai dampak El Nino,” kata Thomas.
Pasokan minyak sawit dan soya oil, kata Thomas, bisa menekan pasar ekspor minyak nabati dunia. Produksi kedua jenis minyak nabati bisa berkurang lantaran iklim kering yang terjadi semenjak pertengahan tahun 2015. Pertumbuhan suplai minyak sawit di pasar global diperkirakan hanya satu juta ton. Sementara itu, minyak soya diproyeksikan 2 juta ton.
Rendahnya produksi ini tidak sebanding dengan kebutuhan minyak sawit di sektor pangan dan energi. Thomas Mielke mengatakan kebutuhan industri pangan terhadap minyak nabati diperkirakan naik 6 juta ton. Dari jumlah tersebut, kontribusi CPO terhadap minyak nabati sekitar 30%.
Thomas memproyeksikan harga palm oil di kisaran US$ 700-US$750 per ton. Pergerakan harga bergantung kepada suplai CPO di pasar global dan konsumsi biodiesel. “Dalam kurun waktu enam bulan berikutnya, ada peluang kenaikan harga palm oil sebesar US$ 150. Ini bisa terjadi karena meningkatnya konsumsi biodiesel di Indonesia dapat mengurangi signifikan pasokan CPO ke pasar global,” tambahnya.
Pada tahun depan, ekspor minyak sawit ke pasar global diperkirakan turun 2 juta ton untuk mencukupi permintaan industri biodiesel. Fadhil Hasan, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, mengatakan ekspor produk sawit tahun depan sekitar 23 juta-24 juta ton. Angka ini lebih rendah dari tahun ini yang mencapai 25,7 juta ton.
Penurunan ekspor ini, kata Fadhil, akibat peningkatan konsumsi CPO yang mencapai 10, 92 juta ton. Tahun sebelumnya, konsumsi minyak sawit di dalam negeri masih 7,9 juta ton. Dengan mandatori maka permintaan domestik bisa tumbuh menjadi 3 juta ton sebagai faktor pendorong harga. Sedangkan, konsumsi biodiesel Indonesia pada tahun ini sekitar 1,5 juta ton.
GAPKI memperkirakan total produksi CPO berjumlah 35 juta ton merujuk kepada data USDA (Departmen Pertanian Amerika Serikat. Untuk tahun ini, produksi diperkirakan berada di angka 33 juta ton.
James Fry, Analis harga LMC, memulai analisisnya dari kondisi harga minyak bumi yang terjadi pada tahun ini dan tahun depan. Dia berpandangan semenjak tahun 2007 sudah terjadi keterikatan kuat antara harga minyak nabati dan harga minyak. Ini terjadi setelah penggunaan minyak nabati terutama CPO sebagai sumber bahan baku biodiesel.
Yang menarik untuk pertama kalinya kebijakan mandatori biodiesel di Indonesia mendapatkan dukungan pendanaan penuh dari industri sawit. James Fry menyebutkan skema subsidi ini akan menolong pemakaian biodiesel. Karena selisih antara harga solar dan biodiesel (FAME) ditutupi oleh subsidi yang berasal dari dana pungutan CPO.
“Tetapi yang harus diwaspadai adalah ketika selisih makin melebar. Sejauh mana kemampuan untuk membayar subsidi biodiesel tersebut,” ujar James.
Dia menyebutkan terdapat dua opsi harga CPO pada tahun depan. Pertama, ketika harga minyak brent di kisaran US$ 50 per barel maka harga CPO sekitar US$600 FOB sampai kuartal pertama 2016. Harga CPO bisa naik lebih tinggi antara US$50-US$75 dari kuartal pertama dengan catatan Pertamina meningkatkan permintaan biodiesel dan produksi CPO tidak naik signifikan.
Opsi kedua adalah kekeringan panjang yang berlanjut sampai awal tahun depan bisa memangkas pasokan minyak sawit lebih besar lagi. Disinilah, harga CPO dapat kembali naik di kisaran US$800. “Kalau ini terjadi pelaku minyak nabati akan bergantung kepada pasokan minyak kedelai untuk menutupi kekurangan suplai CPO,” tuturnya.