JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Petani sawit merasa dirugikan dengan kerjasama Otoritas Jasa Keuangan dan WWF, NGO Lingkungan Hidup, yang menjadikan kelapa sawit proyek rintisan pembiayaan berkelanjutan (sustainability). Pasalnya, definisi sustainability merujuk kepada standar negara asing. Dampak terburuk adalah aturan baru ini mempersulit kredit petani sawit.
“Indonesia ini punya regulasi sendiri. Kenapa perbankan kita mau diatur-atur standar dari negara lain,” keluh Asmar Arsjad, Sekjen APKASINDO dalam sambungan telepon kepada SAWIT INDONESIA.
Menurutnya, persyaratan ini secara bisnis tidak akan menguntungkan perbankan malahan bisa merugikan mereka. Apabila petani dibebani persyaratan tambahan seperti sustainability ini, maka petani mengancam menutup rekeningnya.
“Kalau dipersulit, pekebun (petani) akan menarik duit dari delapan bank yang ikut proyek ini. Isu lingkungan yang berlaku sekarang ini berasal dari negara asing. Harus bank juga punya sikap nasionalisme bukannya patuh kepada syarat dari negara lain,” ujar Asmar.
Di Indonesia, APKASINDO memiliki 2 juta anggota petani terutama petani swadaya. Dengan luasan lahan sekitar satu juta hektare. “Petani juga peduli lingkungan. Kami lebih pilih bank swasta yang bersahabat daripada bank pemerintah peserta proyek OJK dan WWF ini,” tegas Asmar.
Sebelum adanya syarat sustainability ini, Asmar Arsjad menjelaskan tidak mudah bagi petani swadaya untuk memperoleh pinjaman. Penyebabnya, bank menerapkan syarat ketat berkaitan jaminan dan avalis (penjamin). Di sisi lain, masih banyak lahan petani sawit non plasma (kemitraan) yang tidak punya sertifikat akibat mahalnya biaya pengurusan.
Pada 23 November 2015, Otoritas Jasa Keuangan dan WWF Indonesia menjalin kerjasama proyek percontohan “Langkah Pertama untuk Menjadi Bank yang Berkelanjutan”. Delapan bank terkemuka terlibat dalam proyek rintisan perbankan yang berkelanjutan. Mereka adalah PT Bank Artha Graha Internasional Tbk; PT Bank Central Asia Tbk; PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk; PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk; PT Bank BRI Syariah; PT Bank Mandiri (Persero) Tbk; PT Bank Muamalat Indonesia; PT BPD Jawa Barat dan Banten Tbk
Edi Setijawan, Deputi Direktur Arsitektur Perbankan Indonesia OJK, mengatakan alasan dipilihnya sawit sebagai proyek rintisan green banking karena portofolio kredit sawit sangat besar di perbankan.
“Justru dengan inisiatif ini membantu pemberdayaan petani sawit non korporasi sehingga dapat akses kredit. Tahapan awal sawit baru masuk ke sektor lainnya,” kata Edi kepada SAWIT INDONESIA melalui pesan layanan singkat.
Dalam rilisnya, Muliaman D. Hadad, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), menjelaskan delapan bank merepresentasikan 46% aset perbankan nasional yang diharapkan mampu mendorong bank dan lembaga jasa keuangan lain supaya mengikuti jejak mereka dalam penerapan keuangan berkelanjutan di Indonesia.
Kedelapan bank akan didampingi OJK serta WWF dengan contoh kasus pembiayaan di sektor kelapa sawit. Proyek akan berjalan selama 1,5 tahun yang dimulai per Januari 2016. Alasan pemilihan komoditas ini karena seringkali dituding bermasalah dengan lingkungan.
Ditambahkan Muliaman, industri jasa keuangan akan melakukan screening kepada setiap industri yang akan dibiayainya. Bank juga didorong untuk meningkatkan profitnya melalui sektor-sektor yang memiliki multiplier effect tinggi yang nantinya dapat menciptakan sistem keuangan yang stabil dan berkelanjutan.
Tujuan dari persyaratan pelaksanaan green banking yaitu kemampuan organisasi untuk mengelola aspek lingkungan, sosial dan tata kelola (LST) dalam keputusan bisnisnya. Selain itu, ada peningkatan porsi pembiayaan mengarah aktivitas bisnis yang berkelanjutan.
Efransjah, CEO WWF Indonesia, menyebutkan bank berkomitmen dalam pengelolaan dan penerapan aspek lingkungan, sosial dan tata kelola. Selain itu, bank berperan pula dalam meningkatkan profil kinerja perusahaan di Indonesia.