JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menegaskan perusahaan sawit anggotanya mematuhi regulasi pemerintah yang melarang pekerja anak di bawah umur 18 tahun. Regulasi ini tercantum dalam Pasal 68 UU No. 13 tahun 2003 mengenai ketenagakerjaan. Yang terjadi, banyak perkebunan sawit sangat mendukung fasilitas bagi pertumbuhan anak seperti pendidikan dan sosial.
“Ada tuduhan bahwa perusahaan sawit juga mempekerjakan anak di kebun. Tetapi, kami bersyukur bahwa tuduhan ini telah terbantahkan,” ujar Sumarjono Saragih, Ketua Bidang Ketenagakerjaan GAPKI, Sabtu (13 Juni 2020).
Hal ini disampaikannya dalam Peringatan Hari Anti Pekerja Anak Sedunia pada 12 Juni. Semenjak 2002, International Labour Organisation (ILO) atau organisasi United Nations di bidang tenaga kerja menetapkan tanggal tersebut diperingati sebagai World Against Child Labour Day atau Hari Anti Pekerja Anak Sedunia. Merujuk data ILO, ampai tahun 2018, terdapat total 218 juta anak yang bekerja dengan 152 juta anak diantaranya berstatus sebagai pekerja anak dan 73 juta dari 152 juta anak tersebut bekerja di sektor yang berbahaya dan penuh resiko.
Sumarjono menjelaskan bahwa kegiatan kebun sawit relatif berat dan tidak mungkin dilakukan anak-anak. Apalagi, tindakan tersebut dilarang hukum negara dan ada ancaman pidana bagi yang melakukan. “Sebuah tindakan keliru bahkan bunuh diri bila ada perusahan sengaja melakukannya,” tegasnya.
Sumarjono Saragih menghadiri seminar online yang diselenggarakan Kementerian Tenaga Kerja RI Bappenas dan ILO berkaitan Hari Anti Pekerja Anak Sedunia pada 12 Juni 2020. Diskusi ini dihadiri sebanyak 312 peserta dari ragam latar belakang.
“Pelaku industri sangat lega tuduhan (pekerja anak) tidak terbukti. Wajah dan persepsi sawit di mata publik dan NGO makin membaik,” jelasnya.
Faktanya, industri sangat ramah terhadap fasilitas pendidikan dan fasilitas umum untuk anak. Sumarjono menceritakan perusahaan sawit menyediakan fasilitas yang dibangun di perkebunan untuk kebutuhan anak. Apabila berkunjung ke perkebunan, dapat dilihat fasilitas pendidikan dasar sampai menengah seperti taman kanak-kanak, sekolah dasar, dan sekolah menengah pertama. Selain itu, orangtua yang bekerja dapat menitipkan anaknya di fasilitas tempat penitipan, adapula tempat bermain dan pelayanan kesehatan.
“Diantara perkebunan minyak nabati lain di dunia, hanya perkebunan sawit yang memiliki fasilitas untuk anak,” ujar Sumarjono.
Sumarjono menegaskan di tengah pandemi covid-19 bahwasannya perkebunan sawit menjadi solusi. Bukan hanya solusi pangan, energi dan ekonomi melainkan menjaga aspek soal karena tidak ada PHK kepada orang tua.
“Sehingga tidak ada pengangguran dan kemiskinan baru sebagai salah satu penyebab adanya pekerja anak,” papar Sumarjono.
Sumarjono juga menjelaskan bahwa 42% sawit di Indonesia diKelola oleh petani. Oleh karena itu kita mengajak NGO kerja bersama untuk menata rantai pasok. Pemahaman pekerja anak dan kearifan lokal di level petani berbeda dengan perspektif NGO. Mungkin juga tak cukup diakomodasi dalam aturan hukum negara. Jadi perlu upaya bersama sehingga tidak ada lagi tuduhan keliru.