Terpenuhinya kebutuhan benih sawit di dalam negeri menjadi prasyarat mutlak kebijakan ekspor. Dukungan ini diberikan dengan mempermudah perizinan benih yang akan dijual ke luar negeri. Selain itu, pemerintah juga mendorong benih sawit Indonesia dapat memperluas pasar salah satunya ke Malaysia lewat kerjasama bilateral. Berikut ini petikan wawancara tim redaksi Sawit Indonesia dengan Gamal Nasir, Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian:
Seperti apa sikap pemerintah terhadap impor benih sawit?
Impor benih ini mengacu kepada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 mengenai penanaman modal yang terdapat dalam pasal 24 bahwa pemerintah memberikan kemudahan pelayanan dan atau perizinan kepada perusahaan untuk diberikan impor terhadap barang modal atau bahan baku untuk kebutuhan produksi sendiri.
Salah satu persyaratan impor benih adalah terlebih dahulu membeli benih dalam negeri minimal 50% dari total kebutuhan benih perusahaan. Bukti penggunaan benih domestik berasal dari faktur pembelian berikut delivery order. Langkah ini dilakukan supaya dapat memaksimalkan dulu potensi produksi benih didalam negeri.
Selain itu, benih impor tidak boleh diperjualbelikan melainkan harus digunakan sendiri oleh perusahaan yang mengimpor. Pemakaian benih impor lebih diutamakan kepada perusahaan yang ingin mengembangkan lahan.
Bagaimana proteksi pemerintah terhadap ancaman penyakit dalam benih impor?
Direktur Jenderal Perkebunan sudah berkoordinasi dengan Badan Karantina Kementerian Pertanian guna mencegah masuknya benih impor yang membawa penyakit. Jadi, perlakuan terhadap pemasukan dan pengeluaran benih sama.
Negara yang berpotensi membawa penyakit sudah dideteksi sehingga sudah dapat dilakukan antisipasi terhadap benih impor. Jika ditemukan benih yang terkontaminasi jelas tidak akan diizinkan memasuki wilayah Indonesia.
Ada kebijakan lain untuk ekspor benih sawit?
Jadi, Kementerian Pertanian sedang mengajukan kerjasama kesepakatan dengan pemerintah Malaysia supaya memberikan izin impor benih sawit dari Indonesia. Selama ini, benih domestik tidak memperoleh izin sehingga mempersulit penjualannya di Malaysia. Sebab, tidak ada kesepakatan antar kedua negara terkait kebijakan ekspor impor benih.
Padahal, benih sawit dari Malaysia diperbolehkan masuk ke Indonesia tanpa diberlakukan aturan ketat. Kalau ini yang terjadi, kerugian berada di pihak Indonesia karena perdagangan menjadi tidak seimbang.
Dari segi kualitas, benih sawit dalam negeri tidak kalah dengan mutu benih sawit Malaysia. Jadi, benih sawit nasional idealnya dapat pula diekspor ke Malaysia.
Sejauh mana kekuatan posisi tawar Indonesia supaya kesepakatan ini dapat terwujud?
Sebelum terjadi kesepakatan antar dua negara, benih dari Malaysia sementara ini tidak diberikan izin masuk ke Indonesia. Selama ini, permintaan benih Malaysia lebih banyak diajukan dari perusahaan perkebunan sawit yang berasal dari sana pula. Memang, kebijakan ini dikeluhkan pengusaha Malaysia yang tergabung dalam Association of Plantation Investors of Malaysia in Indonesia (APIMI). Tetapi, langkah ini mesti diambil guna menciptakan keseimbangan perdagangan.
Itu sebabnya, benih yang masuk ke Indonesia sekarang ini lebih banyak berasal dari Papua Nugini dan Kostarika.
Apakah perizinan ekspor benih dapat dipermudah?
Dengan kondisi surplus benih sawit yang terjadi sekarang ini, maka kebijakan ekspor dapat dilakukan sepanjang kebutuhan dalam negeri dapat terpenuhi. Kebijakan ini berlaku untuk semua komoditas bukan benih sawit saja.
Pemerintah mendukung ekspor benih sawit lewat mempercepat perizinan ekspor yang dapat keluar dalam satu minggu. Tentu saja, benih yang diekspor ini akan melalui pemeriksanaan karantina pertanian pula. Dari Direktorat Jenderal Perkebunan siap mendukung kebijakan ekspor benih ini.
Apa tindakan pemerintah untuk menekan peredaran benih ilegal?
Kementerian Pertanian telah mengeluarkan program penggantian benih non sertifikat dengan benih sertifikat yang berasal dari sumber benih. Tujuan program ini meningkatkan produksi, produktivitas dan mutu tanaman.
Semenjak 2010, program ini mulai berjalan yang dialokasikan dari dana dekosentrasi dan tugas perbantuan. Petani penerima benih bantuan ini harus mendapatkan rekomendasi dari kepala dinas provinsi setempat. Bantuan ini lebih diarahkan kepada petani mandiri bukan petani plasma, sebab petani plasma telah dibantu dengan program revitalisasi perkebunan.
Kebijakan pengawasan dijalankan oleh Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan yang berlokasi di Medan, Surabaya, dan Ambon. Balai ini akan membantu pengawasan benih sawit ilegal yang berada di daerah terutama Medan. Keberadaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) juga dioptimalkan untuk menindak pengedar benih non sertifikat.