Mandatori penambahan vitamin A dalam minyak goreng sudah di depan mata. Kebijakan ini dinilai membantu peningkatan suplai vitamin A kepada masyarakat, kendati efektivitasnya tetap diragukan.
Ditemui di kantornya yang terletak di Bogor, Purwiyatno Hariyadi, Direktur Southeast Asian Food and Agricultural Science and Technology (SEAFAST), merasa heran definisi minyak goreng sawit yang tercantum dalam Standar Nasional Indonesia (SNI)7709-2012. Dalam SNI 7709-2012 disebutkan minyak goreng sawit adalah bahan pangan dengan komposisi utama trigliserida berasal dari minyak sawit, dengan atau tanpa perubahan kimiawi termasuk hidrogenasi, pendinginan dan telah melalui proses pemurnian dengan penambahan vitamin A.
Menurut Purwiyatno, kalimat “penambahan vitamin A” akan menambah beban produsen minyak goreng karena pasca fortifikasi diwajibkan, setiap tahun mereka harus impor vitamin A. Secara alami, minyak sawit mentah memilik kandungan betakaroten tinggi sekitar 500-600 ppm (seperjuta) per gram. Tetapi, kata Purwiyatno, senyawa karotenoid ini menjadi rusak dan hilang setelah melewati proses pemurnian (pemurnian) ketika diolah menjadi minyak goreng. Artinya, proses pemurnian ini telah diarahkan oleh pemerintah untuk menghasilkan minyak goreng yang berwarna kekuningan. Tanpa pemurnian, minyak goreng akan berwarna kemerahan.
Herannya, setelah melewati proses pemurnian produsen minyak goreng diminta untuk menambahkan kembali vitamin A sesuai standar SNI berjumlah 45 IU (satuan vitamin). Sebenarnya, tanpa embel-embel penambahan vitamin A, menurut Purwiyatno, kalau proses pengolahan minyak goreng diperbaiki akan diperoleh jumlah vitamin A yang memadai.
Sebagai sebuah standar, SNI 7709-2012 memiliki empat tujuan yaitu melindungi konsumen, menjamin perdagangan yang jujur dan bertanggungjawab, mendukung perkembangan dan diversifikasi produk minyak goreng sawit, serta meningkatkan gizi masyarakat melalui fortifikasi vitamin.
Menurut Purwiyatno Hariyadi, tujuan SNI minyak goreng sawit untuk memperbaiki gizi masyarakat khususnya vitamin A patut didukung. Terutama, mencukupi kebutuhan vitamin A untuk kalangan masyarakat miskin. Kalau tidak ditangani serius, kekurangan vitamin A akan berdampak serius kepada bangsa ini. “Dalam hal ini, upaya melakukan fortifikasi sangatlah penting. Tetapi , fortifikasi hanyalah salah satu instrumen dari beragam instrumen lain seperti pemberian suplemen,” ujar Purwiyatno.
Purwiyatno menyatakan sebetulnya, minyak goreng berbasis sawit yang tanpa penambahan vitamin A sudah dapat dikatakan minyak goreng. Nah, supaya dapat mencapai standar SNI, pabrik tinggal modifikasi teknologi proses minyak goreng untuk mendapatkan vitamin A alami dari betakaroten. Langkah lainnya, minyak goreng dapat dicampur dengan minyak sawit merah (red palm oil) yang kaya betakaroten. Kalau opsi tadi dilakukan, apakah minyak goreng tersebut layak disebut minyak goreng berstandar SNI 7709-2012?
“Justru inilah yang membuatnya tidak adil. Paling krusial, antara definisi dengan tujuan SNI tidak selaras sebagaimana yang menjadi tujuannya yaitu menjamin perdagangan yang jujur dan bertanggungjawab,” ujar Purwiyatno kepada SAWIT INDONESIA.
Pasokan vitamin A memang sangat dibutuhkan masyarakat khususnya bagi anak kecil, ibu hamil dan orang dewasa. Vitamin A ini adalah unsur zat gizi mikro yang gejalanya tersembunyi. Sekarang ini, Kekurangan Vitamin A (KVA) yang berakibat xerophaltamia dan rabun senja jarang dijumpai di masyarakat. Namun perlu diwaspadai KVA sub klinis yang masih tinggi di masyarakat sehingga membahayakan kesehatan karena akan mengurangi tingkat kekebalan (imunitas) tubuh.
Tarik ulur regulasi yang mewajibkan fortifikasi vitamin A untuk minyak goreng telah menjadi perdebatan hangat selama 4-5 tahun belakangan. Sebagian akademisi menilai fortifikasi tindakan mubazir dan kurang bermanfaat karena jumlah vitamin A yang ada di dalam minyak goreng masih lebih rendah dari kebutuhan harian. Seperti ditulis Mangku Sitepoe dalam buku Minyak Goreng Dengan Fortifikasi Vitamin A Tidak Bermanfaat Mengatasi Kekurangan Vitamin A Di Indonesia¸ menjelaskan fortifikasi vitamin A minyak goreng menargetkan kepada penderita kekurangan vitamin A di dalam asupan makanan harian. Terutama 9 juta bayi dibawah umur 5 tahun dan satu juta wanita muda. Untuk, anak usia 2-5 tahun memerlukan 4200 IU dan kebutuhan harian vitamin A orang dewasa sebanyak 10.000 IU per hari.
Ditambahkan Mangku Sitepoe, kebijakan penambahan vitamin A di dalam minyak goreng sawit tidak bermanfaat dalam memberikan asupan yang dibutuhkan tubuh. Sebagai gambaran, fortifikasi vitamin A diperkirakan hanya dapat mencukupi kebutuhan anak usia 2-5 tahun sebesar 511,5 IU dan untuk orang dewasa hanya dapat mencukupi 2.046 IU.
Sebelum fortifikasi digagas, pemberian kapsul vitamin A telah lama dipilih pemerintah untuk mencegah kekurangan vitamin A. Dosis yang diberikan cukup tinggi antara 100.000 IU untuk bayi usia 6-12 bulan dan 200.000 IU kepada balita dan ibu nifas. Waktu pemberian setahun dua kali biasanya Februari dan Agustus. Kebijakan pemberian kapsul vitamin A telah dijalankan semenjak pemerintahan orde baru.
Khusus di kota-kota besar, pemberian suplemen berhasil menuju sasaran yang dapat menjangkau lebih dari 70%. Tetapi, keberhasilan ini tidak terjadi bagi masyarakat yang tinggal di pedesaan dan pedalaman khususnya masyarakat miskin. Syarat utama berjalannya pemberian suplemen ini adalah keterlibatan aktif penerimanya untuk datang ke lokasi pendistribusian kapsul. Di wilayah pedesaan, hambatan akses jalan dan jauhnya lokasi mengakibatkan masyarakat kesulitan memperoleh kapsul. Disinilah letak kelemahan kebijakan suplemen sehingga distribusi kapsul kurang merata.
Drajat Martianto, anggota Koalisi Fortifikasi Indonesia, melansir data penelitian yang menyebutkan 20%-30% anak balita dari keluarga miskin belum menerima kapsul vitamin A. Yang menjadi masalah, makanan yang dikonsumsi balita tadi masih jauh dari nilai gizi dan higienis akibat faktor ekonomi. Sebenarnya, pengganti vitamin A dapat diperoleh dari buah, sayuran dan makanan lain seperti daging maupun ikan. “Tetapi, harus diketahui tidak semua orang mampu beli ikan dan daging,” ujar Drajat.
Dalam hal ini, fortifikasi merupakan instrumen pelengkap untuk meningkatkan jumlah kandungan vitamin A. Lalu, kenapa fortifikasi vitamin A diarahkan kepada minyak goreng? Drajat Martianto menjelaskan vitamin A ini mudah larut dalam lemak. Sangatlah tepat jika menitipkan vitamin Aa ke dalam minyak goreng yang berkadar lemak tinggi.
Salah satu syarat utama fortifikasi, kata Drajat, kebijakan ini mencakup public private partnership. Artinya, kekurangan vitamin Amenjadi masalah yang dialami oleh masyarakat. Penanggungjawab kebijakan adalah pemerintah. Sedangkan, pihak yang memiliki media penyelesaian adalah pabrik atau perusahaan. “Jadi wajar saja, kalau ada benturan kepentingan dari berbagai pihak,” ujar Dosen Gizi Institut Pertanian Bogor ini.
Produk minyak goreng juga memenuhi persyaratan lain yaitu dikonsumsi sebagian besar masyarakat dalam jumlah yang variasinya tidak boleh kecil sekali. Artinya, konsumsi kalangan masyarakat kalangan menengah, bawah, dan atas tidak jauh beda.Kondisi ini dapat dilihat dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2008 bahwa konsumsi rata-rata minyak goreng sekitar 10 liter per kapita per tahun. Konsumsi minyak goreng menempati posisi kedua setelah beras, yang mencapai 90% secara reguler. Hal inilah yang menjadi pertimbangan minyak goreng untuk difortifikasi vitamin A.
Syarat lainnya , kata Drajat Martianto, jumlah pemain di industri tidak terlalu banyak karena harus tersentralisasi. Pabrik minyak goreng yang berada di Indonesia diperkirakan 35 unit. Kemudian, dari aspek harga tidak akan berdampak besar kepada konsumen setelah fortifikasi diterapkan. Dengan penambahan vitamin A sintetik, minyak goreng tidak akan berubah rasa dan teksturnya. Kalau minyak goreng dicampur betakaroten berdasarkan penelitian Drajat Martianto, ternyata warna minyak goreng lebih pekat dan rasanya agak berbeda dengan minyak goreng pada umumnya.
“Vitamin A sintetik yang dipakai nantinya berupa retinial palmitat. Kelebihan retinil palmitat lebih stabil dan warnanya sama persis dengan minyak goreng yaitu bening dan kuning. Ya, masih sesuai dengan syarat fortifikasi,” imbuh Drajat.
Benny Wahyudi, Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian, mengatakan aturan menteri yang mengatur fortifikasi vitamin A kepada minyak goreng sawit segera disahkan pada tahun ini. Diperkirakan, regulasi tersebut terbit pada Agustus atau September. “Aturan ini mengatur kewajiban produsen minyak goreng dalam menerapkan SNI 7709-2012,” kata Benny Wahyudi kepada SAWIT INDONESIA.
Setelah aturan terbit, pihak Kementerian Perindustrian mengajukan SNI 7709-2012 ke dalam proses notifikasi kepada World Trade Organization (WTO). Keputusan WTO baru keluar setelah enam bulan. Kalau disetujui, barulah mandatori secara keseluruhan dapat berjalan kemungkinan pada pertengahan 2014 mendatang. Selama rentang waktu ini, produsen minyak goreng dapat menyiapkan fasilitas untuk proses fortifikasi.
Langkah persiapan implementasi SNI minyak goreng sawit telah dimulai pada Agustus 2012. Tahap awal, aturan fortifikasi vitamin A untuk minyak goreng sawit ini bersifat sukarela kepada produsen minyak goreng. Setelah setahun berjalan, tampaknya pemerintah tidak ingin menunda waktu lagi untuk segera memberlakukan regulasi ini. “Perubahan dari sukarela menjadi wajib karena pemerintah memperhatikan masalah keamanan kesehatan, dan lingkungan,” ujar Benny Wahyudi.
Drajat Martianto, Anggota Koalisi Fortifikasi Indonesia, sepakat dengan kewajiban fortifikasi vitamin A kepada semua produsen minyak goreng sawit karena kalau hanya sukarela tidak ada gunanya bagi peningkatan gizi. “Mesti diingat tujuan kebijakan ini bukan diarahkan kepada memfortifikasi minyak goreng sawit tetapi melengkapi kekurangan gizi vitamin A. Harus ditekankan, fortifikasi dan kapsul vitamin itu sebagai pelengkap,” kata Drajat.
Dari kalangan asosiasi seperti Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) yang diwakili Sahat Sinaga, menyatakan setuju dengan kewajiban penambahan vitamin A di dalam minyak goreng. Memang, sekarang ini baru minyak goreng kemasan yang mempunyai kandungan vitamin A. Sedangkan minyak goreng curah tidak ada sama sekali. Ke depan,fortifikasi vitamin A ini akan sejalan dengan kebijakan pemerintah yang mewajibkan minyak goreng curah menjadi kemasan.
Meski demikian, sebenarnya beberapa produsen minyakg goreng masih keberatan dengan fortifikasi vitamin A ini. Faktor utama berasal dari peningkatan investasi yang harus ditanggung produsen. Selain itu itu, mereka harus berhitung pula dengan harga vitamin A yang masih bergantung kepada luar negeri. Khawatirnya, ada lonjakan tinggi harga vitamin A di pasar global setelah Indonesia menerapkan kebijakan mandatori. Dengan sisa waktu yang dimiliki, kalangan produsen minyak goreng mesti membenahi fasilitas dan berhitung dengan tambahan biaya yang akan ditanggungnya sebelum fortifikasi berjalan.
Drajat Martianto mengharapkan kesediaan produsen minyak goreng untuk terlibat fortikasi vitamin A ini, sebagai upaya membantu pencegahan kekurangan vitamin A di masyarakat. “Diharapkan , perusahaan akan berbisnis untuk cari untung tetapi memberikan manfaat kepada masyarakat. Tujuannya, better business better public health,” pungkas Drajat. (Qayuum Amri)